Minggu, 12 Juni 2011

Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi


Sejarah Berdarah Sekte 
Salafi Wahabi


“Mereka memerangi orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala”
 (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai, dan Ahmad)

Penulis: Syaikh Idahram
Penerbit: Pustaka Pesantren (Grup LKIS)
Tahun Terbit: 2011

Ketika akan memulai menulis review buku ini saya sedikit ragu. Ada sedikit ragu untuk bersiap menghadapi serangan atau bahkan hujatan dari kelompok Salafi yang kebakaran jenggot melihat kelompok mereka dikritik sedemikian rupa. Saya kira sudah jadi identitas bagi kelompok Salafi untuk ringan lisan mengkafirkan, membid’ahkan dan menyesatkan orang/kelompok yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka.
Buku ini saya temui di pameran buku di Jogja Expo Center beberapa hari lalu. Ditulis oleh seorang penulis Syaikh Idahram (yang saya sayangkan, biografi singkat penulis tidak dijelaskan sedikitpun di buku ini. Sepertinya ini nama pena). Selain penulis tersebut, buku ini juga di-endorser oleh beberapa tokoh kompeten yaitu: KH. Arifin Ilham (Pimpinan Majelis Dzikir Adz Zikra), KH. DR. Ma’ruf Amien (Ketua MUI) dan Prof. Said Agil Siraj (Ketua Umum PBNU).
KH. Ma’ruf Amien misalnya menyatakan bahwa “Buku ini layak dibaca oleh siapa pun. Saya berharap setelah membaca buku ini, seorang muslim meningkat kesadarannya, bertambah kasih-sayangnya, rukun dengan saudaranya, santun dengan sesama umat, lapang dada dalam menerima perbedaan dan adil dalam menyikapi permasalahan.”

Ringkasan, Sangat Ringkas
Adapun buku ini terbagi ke dalam 6 bab pembahasan.
Bab pertama, bercerita tentang seluk beluk Salafi. Saya mencatat bahwa berdirinya kelompok (atau sekte menurut penulis buku) tidak lepas pula dari kepentingan ekonomi-politik duet Muhammad bin Saud dan Muhammad bin Abdul Wahab untuk melepaskan diri dari Kekhalifahan Turki Utsmani dan mendirikan negara/pemerintahan baru. Terbukti hari ini, dinasti Raja Saudi didukung pewaris madzhab Salafi Wahabi bergandengan tangan duduk satu meja dengan pihak barat dalam banyak hal.
Bab kedua, bercerita tentang sejarah kejahatan Salafi. Susah untuk dipercaya, dan mungkin memang harus dikonfirmasi terlebih lebih lanjut. Tapi, data dan fakta yang disampaikan penulis cukuplah kuat untuk membuktikan tuduhan kejahatan ini. Beberapa peristiwa terkini, seperti pembantaian jamaah haji dari Yaman (tahun 1921) sejumlah hampir 1000 orang. Juga jamaah haji dari Iran (tahun 1986), sedikitnya 329 orang tewas dan ribuan lainnya terluka. Anda tahu kenapa jamaah Iran dibantai? Jawabannya karena mereka berdemo melaknat negeri-negeri barat. Bagaimana pendapat anda? Kalau anda tidak merasa aneh dan miris, justru saya akan mempertanyakan ke-Islaman anda…
Bab ketiga, bercerita tentang hadits-hadits Rasul tentang Salafi. Ada beberapa hadits yang diangkat, akan tetapi Hadits Bukhari, Muslim, dan Hakim sepertinya cukup mewakili: “Akan terjadi di tengah umatku perbedaan dan perpecahan. Akan muncul suatu kaum yang membuatmu kagum, dan mereka juga kagum terhadap diri mereka sendiri. Namun orang-orang yang membunuh mereka lebih utama di sisi Allah daripada mereka. Mereka baik perkataannya, namun buruk perbuatannya. Mereka mengajak kepada kitab Allah, tetapi tidak mewakili Allah sama sekali. Jika kalian menjumpai mereka, maka bunuhlah.”
Saya kira kalau kelompok umat Islam lain konsisten bertindak secara tekstual (seperti yang dipraktekkan Salafi), bisa jadi kelompok Salafi sudah dibunuh sejak dulu –tidak akan ada yang rugi saya kira. Akan tetapi, saya kira sebagian umat Islam lebih cerdas dan arif dalam melihat perbedaan sehingga tidak gegabah dan bodoh dalam bertindak.
Bab keempat, bercerita tentang fatwa-fatwa yang menyimpang dari Salafi Wahabi. Seperti biasa yang kita tahu, bahwa fatwa-fatwa mereka seringkali otoriter dan bila tidak dilaksanakan lalu kuasa bahasa bermain (sesat, kafir, bid’ah, boikot sampai halal darahnya). Saya heran hari seperti ini sempat-sempatnya memfatwakan haramnya belajar bahasa selain bahasa arab, gila bukan? Menurut Salafi belajar bahasa selain arab adalah bentuk tasyabbuh kuffar (menyerupai orang-orang kafir). Entah dimana akal sehat ditaruh pada fatwa ini. Padahal bahasa adalah ilmu alat yang amat penting, tanpa bahasa ilmu tidak akan pernah menyebar luas, dakwah pun hanya akan terjepit di lokal tertentu.
Selain fatwa aneh haram belajar bahasa lain, ada juga fatwa-fatwa janggal lain seperti: haram membawa jenazah dengan mobil, ucapan hari raya adalah bid’ah dan sesat, dsb.
Bab kelima, bercerita tentang kerancuan konsep dan manhaj Salafi. Inti dari bab ini kurang lebih senada dengan buku Prof. Said Ramadhan Al Buthi Assalafiyyah Marhalatun Zamaniyyatun mubârakatun lâ Madzhabun Islâmiyyun yang menyatakan bahwa Salafi pada dasarnya hanyalah sebuah fase sejarah bukan madzhab. Ada dua argumen yang harusnya dijadikan catatan: Pertama, bahwa kaum Salaf pun ketika itu tidak selalu seragam dalam menghadapi permasalahan. Adalah suatu kejanggalan ketika sekarang harus diseragamkan, atau jangan-jangan keseragaman ini bukan muncul dari kaum Salaf tapi justru dari pemaksaan ajaran Muhammad ibnu Abdul Wahab?  Kedua,  kelompok Salafi begitu gencar mengkampanyekan anti taqlid dan madzhabiyah (Syafii, Hanbali, Hanafi dan Malik). Sayangnya, mereka tidak konsisten! Justru mereka sendiri sangat taqlid terhadap ulama mereka seperti Syekh bin Baz, Syekh bin Utsaimin, Syekh bin Fauzan, dll. Lucu bukan?? Lucu sekali…

Epilog
Hari ini perbedaan yang sifatnya furuiyah seharusnya tidak dihadapi dengan semangat bid’ah-membid’ahkan atau bahkan kafir-mengkafirkan. Itu terlalu jauh dan kasar terhadap sesama umat Islam. Kalau konsisten dengan Salaf, seharusnya akhlak Rasul mereka junjung tinggi, bukan justru akhlak Khawarij yang gemar menuduh kafir, bid’ah dan sesat.
Pada akhirnya, hari ini sudah jelas siapa musuh Islam. Sudah jelas siapa yang harus kita lawan bersama-sama. Jangan sampai kelompok anti Islam, dari Zionis maupun barat terus menertawai umat Islam yang lebih senang ribut di internal alih-alih mensolidkan diri. Dan tolong dicatat: saya adalah salah seorang yang paling sakit hati melihat ada kelompok yang begitu keras dan kasar terhadap sesama muslim, namun begitu acuh dan toleran terhadap imperalisme bangsa barat.

Ketika Kitab-Kitab Dipolitisasi


Ketika Kitab-Kitab Dipolitisasi


Judul :  Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik: Episode Kebohongan Publik Sekte Salafi Wahabi
Penulis: Syaikh Idahram
Tebal: 306 hlm
ISBN: 978-602-8995-01-6
Terbit: Cetakan I, 2011
Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta.
Peresensi: M. Ajie Najmuddin*

Buku ini merupakan lanjutan dari Trilogi Data dan Fakta Penyimpangan Salafi Wahabi, sebuah kelompok yang namanya dinisbatkan dari nama pendidinya, yakni Muhammad ibnu Abdul Wahhab. Dalam buku pertama Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, sang penulis buku, Syaikh Idahram, telah memaparkan beberapa kekejaman dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Sekte Salafi Wahabi. Sedangkan dalam buku kedua ini, ia membahas kembali episode kebohongan Sekte Salafi Wahabi, yang memalsukan kitab dan menyelewengkan teks agama guna memuluskan kepentingan/kekuasaan (politisasi) kelompok mereka.
Kitab atau buku, bagi kaum muslim merupakan salah satu media utama dalam mencari kebenaran. Setelah Al-Qur’an dan hadist, kitab-kitab klasik karya ulama-ulama besar menjadi referensi setelah keduanya. Kitab-kitab seperti kitab Shahih Bukhari (Imam Bukhari), Ihya’ Ulumuddin (Imam Ghozali) dan kitab-kitab dari ulama besar lain, merupakan hujjah yang isinya banyak dijadikan sandaran bagi umat Islam. Lalu, apa jadinya jika kitab-kitab para ulama yang mewarisi ilmu dan petunjuk itu dikotori, diselewengkan, dan bahkan diselewengkan?
Barangkali anda akan terperanjat, ketika di dalam buku ini banyak dipaparkan sejumlah fakta kasus-kasus penyelewengan kitab yang dilakukan oleh Salafi Wahabi. Mulai dari pemusnahan dan pembakaran buku; sengaja meringkas, men-tahkik (penelitian secara mendalam terhadap sebuah manuskrip sebelum mencetak/menerbitkannya), men-takhrij (penelitian terhadap suatu hadist untuk menunjukkan atau menisbatkan hadist tersebut kepada sumber-sumbernya yang asli) kitab-kitab hadist yang jumlah halamannya besar untuk menyembunyikan hadist-hadist yang tidak mereka sukai; menghilangkan hadist-hadist tertentu yang tidak sesuai dengan faham mereka;
Sekte Salafi Wahabi sangat menyadari bahwa buku merupakan salah satu media yang paling efektif untuk ‘mengarahkan’ umat kepada faham yang mereka inginkan. Karenanya, tidak aneh jika mereka sangat concern dalam ranah perbukuan, penerbitan, dan penerjemahan. Beragam jenis buku-baik buku kertas maupun e-book/digital-mereka cetak untuk dibagikan secara gratis maupun dengan harga murah. Anda mungkin tidak percaya, tapi inilah di antara buktinya.

Modus Penyelewengan dan Pemalsuan
Salafi Wahabi menggunakan segala usaha untuk menghadapi orang-orang yang tidak sesuai dengan akidah mereka. Lebih dari itu, para pendukung kelompok Salafi Wahabi bahkan berani melakukan pengubahan dan pemalsuan pada kitab-kitab ulama terdahulu maupun ulama saat ini, yang mana kitab-kitab tersebut menjadi rujukan dan tumpuan umat Islam dalam mengklarifikasi kebenaran.
Untuk memperkokoh ajaran mereka yang rapuh secara dalil (naqli) maupun secara ilmiah (aqli) apapun mereka lakukan. Diantara modusnya adalah, Pertama, dengan menyelewengkan isi kitab-kitab turats dan makhtuthat (manuskrip) dari teks aslinya, baik dengan menghapus, menambah dan mengubah tulisannya, ataupun membelokkan maksud dan artinya dalam edisi cetakan mereka. Atau dengan sengaja mentahkik, mentakhrij, atau menyembunyikan hadist-hadist yang tidak mereka sukai.
Sebagai contoh, kasus hilangnya beberapa hadist dari kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan lainnya, yang diringkas dengan alasan untuk memudahkan dalam membacanya. Padahal dalam ringkasan tersebut, banyak hadist-hadist penting yang mereka buang karena tidak sesuai dengan faham mereka. Seperti yang terjadi pada kitab Syarh Shahih Muslim, dimana mereka membuang hadist-hadist tentang sifat Allah. Juga, sebagaimana hilangnya 49 kalimat dalam kitab Shahih Bukhari.
Kedua, mereka memotong-motong dan mencuplik pendapat ulama terkenal sehingga menjadi tidak sempurna, untuk kemudian diselewengkan maksud dan tujuannya. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada pendapat Imam Syatibi dan Ibnu Hazm. Salafi Wahabi mengklaim bahwa Ibnu Hazm mengatakan, “Taqlid (mengikuti dan mencontoh ulama dalam beragama) itu haram.” Padahal, kalimat Ibnu Hazm itu sengaja mereka potong dan belum sampai titik. Adalah benar Ibnu Hazm mengharamkan taklid. Akan tetapi, keharaman taklid itu hanya bagi umat Islam yang mampu berijtihad dalam hukum, bukun bagi setiap orang Islam seperti yang diklaim oleh Salafi Wahabi. (Hal. 41)
Selain kedua modus itu, masih banyak lagi cara yang mereka lakukan dalam rangka memalsukan dan menyelewengkan teks. Diantaranya mereka juga aktif dalam hal pembajakan kitab. Pembajakan ini tidak hanya dilakukan oleh penerbit Darul Kutub al-Ilmiyah di Lebanon terhadap kitab Sirajut Thalibin karya Syaikh Ihsan Jampes (Kediri). Belakangan juga diungkap beberapa manipulasi dalam kitab terbitan Timur Tengah yang beredar di Indonesia.
Pengasuh Ponpes Denanyar Jombang, KH Aziz Masyhuri, mengungkapkan bahwa dalam kitab al-Adzkar terbitan Saudi Arabia, salah satu bagian penting yang menjelaskan tentang ajaran tawasul (berdoa dengan perantara) sengaja dihapus, karena bertentangan dengan ajaran Salafi Wahabi. Padahal kitab yang dikaji di berbagai pesantren itu ditulis oleh ulama Sunni yang dikenal menganjurkan tawasul.

Bahaya (Laten) Wahabisme di Nusantara
Meski banyak gambaran yang serba negatif tentang pemikiran dan gerakan Wahabiyyah, menurut Prof Azyumardi Azra, ironisnya sampai sekarang paham ini merupakan aliran keagamaan yang dianut dan diterapkan Kerajaan Arab Saudi. Oleh karena itu, pemerintah dan lembaga-lembaga di dalamnya berusaha melakukan penyebaran Wahabisme lewat pemberian dana dan bantuan lainnya kepada institusi, organisasi, dan kelompok muslim di berbagai wilayah dunia. Mereka juga membagi-bagikan Al-Qur’an dan literatur Islam, khususnya buku-buku karya Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dan Ibnu Taymiyyah, yang merupakan sumber pokok Wahabisme dan Salafisme.
Di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Wahabisme tidak pernah populer. Gerakan yang bertujuan untuk ‘pemurnian’ Islam ini menemukan momentumnya di Nusantara sejak awal abad ke-20 berkat pengaruh tokoh semacam Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha. Dengan karakter Islam Nusantara yang secara tradisional sangat dipengaruhi tasawuf dan tarekat, Wahabisme sejatinya sulit mendapat pijakan yang kuat di Indonesia dan wilayah-wilayah lain di Asia Tenggara.
Namun, bila kita melihat sejarah dari aliran ini, seperti beberapa kekejaman yang pernah dilakukan terhadap para ulama (Lihat Buku pertama) dan sejumlah penyelewengan/pemalsuan terhadap teks-teks agama Islam seperti yang telah dipaparkan dalam buku ini, maka kita juga mesti tetap mewaspadai keberadaannya. Cukup dilematis memang, orang bijak yang mengatakan seratus musuh di luar lebih baik daripada musuh di dalam. Dalam konteks ini, di satu sisi kita mesti tetap memperkuat ukhuwah terhadap sesama umat Islam untuk menghadapi musuh di luar, namun ketika mendapati fakta-fakta yang demikian, maka kita juga lebih hati-hati dan waspada akan bahaya (laten) Salafi Wahabi,yang bisa diibaratkan sebagai musuh dari dalam.
*Penulis adalah Aktivis PMII Solo, tinggal di Sukoharjo.
http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/12/32137/Buku/Ketika_Kitab_Kitab_Dipolitisasi.html

Fiqh Barokah (52-54)


TABARRUK DENGAN LOKASI YANG DIJADIKAN TEMPAT SHOLAT NABI SAW :

Dari Nafi’ bahwa ‘Abdullah ibnu ‘Umar bercerita kepadanya bahwa Nabi Saw melaksanakan sholat di masjid kecil yang terletak di bawah masjid yang ada di bukit Rauhaa’. Abdullah sendiri mengetahui lokasi di mana beliau melaksanakan sholat. Ia berkata, “Di sana dari arah kananmu ketika kamu berdiri untuk sholat. Masjid tersebut berada di tepi jalan sebelah kanan ketika Anda pergi ke Makkah. Jarak antara masjid itu dan masjid besar itu sejauh lemparan batu atau semisal itu.” HR Al Bukhari.


TABARRUK DENGAN TEMPAT YANG DISENTUH MULUT NABI SAW :

Imam Ahmad dan perawi lain meriwayatkan dari Anas bahwa Nabi Saw masuk menemui Ummu Sulaim dan di rumah terdapat kantong air dari kulit yang tergantung. Lalu beliau minum air dari mulut kantong air tersebut dalam keadaan tidur. Ummu Sulaim kemudian memotong mulut kantong kulit itu yang kini berada di tangan saya.
 Maksud dari hadits ini adalah bahwa Ummu Sulaim memotong mulut kantong kulit yang merupakan tempat beliau menelan air minum dan mulut kantong itu ia rawat di rumahnya dengan alasan memohon keberkahan dari peninggalan beliau. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Thabarani dan di dalam sanadnya ada Al Bara’ ibnu Zaid yang hanya disebutkan oleh Abdul Karim Al Jazari. Ahmad tidak menilai Al Bara’ sebagai perawi lemah. Adapun perawi lain sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih. 

TABARRUK DENGAN MENCIUM TANGAN ORANG YANG 
MENYENTUH RASULULLAH SAW

Dari Yahya ibnu Al Harits Al Dzimari, ia berkata, “Saya bertemu dengan Watsilah ibnu Al Asqa’ RA. “Apakah engkau telah membai’at Rasulullah dengan tanganmu ini ?” tanyaku.
 “Benar,” jawab Yahya.
“Julurkan tanganmu, aku akan menciumnya !” aku memohon.
 Ia kemudian mengulurkan tangannya dan aku mencium tangan tersebut.

  Al Haitsami berkata dalam vol. VIII hlm 42 : Di dalam hadits ini ada Abdul Malik Al Qari yang tidak saya kenal sedang perawi-perawi lainnya adalah tsiqat. 
Dalam versi Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’ vol. IX hlm 306 dari Yunus ibnu Maisarah ia berkata, “Kami berkunjung kepada Yazid ibnu Al Aswad. Lalu datang Watsilah ibnu Al Asqa’. Waktu Yazid melihat Watsilah, ia menjulurkan tangannya memegang tangan Watsilah kemudian mengusapkan tangan tersebut ke wajahnya. Hal ini dilakukan karena Watsilah membai’at Rasulullah. “Wahai Yazid !, apa anggapanmu kepada Tuhanmu ?” tanya Watsilah. “Baik,” jawab Yazid. “Berbahagialah, karena saya mendengar Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT berfirman :
 أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ إِنْ خَيْرًا فَخَيْرٌ , وَإِنْ شَرًّا فَشَرٌّ .
Aku tergantung anggapan hamba-Ku terhadap-Ku. Jika ia beranggapan baik maka Aku pun bersikap baik. Jika buruk maka Aku-pun bersikap buruk.”

Dalam Al Adab Al Mufrad hlm. 144 Al Bukhari meriwayatkan dari Abdurrahman ibnu Razin, ia berkata, “Aku berjalan melewati Ribdzah lalu dikatakan kepadaku, “Di sini terdapat Salamah ibnu Al Akwa’ RA. Kemudian aku mendatangi dan memberi salam kepadanya. Lalu Salamah menjulurkan kedua tangannya dan berkata, “Saya telah membai’at Nabi Saw dengan kedua tanganku ini.” Salamah mengeluarkan telapak tangannya yang besar seperti telapak kaki unta. Kemudian kami berdiri dan menciumi tangannya.
Ibnu Sa’ad vol. IV hlm 39 meriwayatkan hadits yang sama dari Abdurrahman ibnu Zaid.
Al Bukhari juga meriwayatkan dalam Al Adab Al Mufrad hlm 144 dari Ibnu Jad’an, ia berkata, “Tsabit bertanya kepada Anas RA, “Apakah engkau menyentuh Nabi dengan tanganmu ?”. “Betul,” jawab Anas. Lalu Tsabit mencium tangan Anas. 
Al Bukhari juga meriwayatkan dalam Al Adab Al Mufrad hlm 144 dari Shuhaib, ia berkata, “Saya melihat Ali ra mencium tangan dan kedua kaki Abbas RA.”
Dari Tsabit, ia berkata, “Jika aku datang kepada Anas maka ia diberi tahu posisiku. Lalu aku masuk menemuinya dan memegang kedua tangannya untuk aku ciumi. “Kedua tanganmu ini telah menyentuh Rasulullah,” kataku. Dan saya juga mencium kedua matanya lalu berkata,”Kedua mata ini telah melihat Rasulullah.”
Hadits di atas ini disebutkan oleh Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Al Mathalib Al ‘Aliyah vol. II hlm. 111. Al Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan para perawinya sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih kecuali Abdullah ibnu Abi Bakar Al Maqdimi yang statusnya tsiqat dan tidak dikomentari oleh Al Bushairi. Demikian dalam Majma’ Al Zawaaid vol. IX hlm. 325.

Fiqh Barokah (48-51)





HADITS BARAKAH PELAYAN UMMU HABIBAH RA

Al Hafidh Ibnu Hajar mengatakan : Abdurrazaq meriwayatkan dari Ibnu Juraij, ia berkata, “Saya dikabari bahwa Nabi SAW kencing di dalam gelas terbuat dari kayu lalu gelas itu ditaruh di bawah tempat tidur beliau. Kemudian beliau datang namun ternyata gelas itu sudah kosong. Nabi pun bertanya kepada seorang perempuan bernama Barakah, pelayan Ummu Habibah yang datang bersama Ummu Habibah dari Habasyah. “Di manakah air seni yang ada dalam gelas ?”
 “Saya minum,” jawab Barakah.
“Sehat, wahai Ummu Yusuf,” lanjut Nabi.
 Ummu Yusuf adalah gelar untuk Barakah. Berkat minum air seni Nabi, Barakah tidak pernah mengalami sakit sama sekali hingga sakit yang membuatnya meninggal dunia.”
(Al Talkhish Al Khabir fi Takhriji Ahaditsi Al Rafi’I Al Kabir vol. I hlm. 32).

Kataku : “Hadits di atas telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al Nasa’i secara ringkas. Al Hafidh Al Suyuthi berkata, “Hadits ini telah disempurnakan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Isti’aab dan di dalamnya terdapat sebagai berikut : Sesungguhnya Nabi bertanya kepada Barakah tentang air seni yang berada dalam gelas. “Saya telah meminumnya,” jawab Barakah. Ibnu ‘Abdil Barr lalu menyebutkan kelanjutan hadits.
( Syarhu Al Suyuthi ‘ala Sunan Al Nasaa’i vol. I hlm. 32 ).


HADITS UMMU AIMAN RA

Al Imam Al Hafidh Al Qasthalani berkata dalam Al Mawaahib : Al Hasan ibnu Sufyan dalam musnadnya, Al Hakim, Al Daruquthni, Al Thabarani, dan Abu Nu’aim meriwayatkan dari haditsnya Abu Malik Al Nakha’i dari Al Aswad ibnu Al Qais dari Nabih Al ‘Anazi dari Ummu Aiman, ia berkata, ““Suatu malam Nabi bangkit berdiri menuju kendi yang ada di samping rumah lalu beliau kencing pada tempat itu. Kemudian pada malam itu saya bangun dan merasa haus. Lalu saya minum dari isi kendi tersebut tanpa menyadari isinya adalah air kencing. Saat pagi tiba beliau berkata, “Wahai Ummu Aiman!, bangunlah dan tumpahkan apa yang ada dalam kendi itu.”
 Demi Allah saya telah meminum isinya,” jawab Ummu Aiman.
“Rasulullah pun tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya lalu berkata, “Sesungguhnya setelah hari ini perut kamu tidak akan merasakan sakit selamanya.”

 Al Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam Al Talkhish, “Ibnu Dihyah menilai shahih bahwa kedua hadits di atas terjadi dalam dua persoalan berbeda untuk dua perempuan yang berbeda pula. Hal ini jelas dilihat dari perbedaan rangkaian kalimat dan juga jelas bahwa Barakah Ummu Yusuf bukanlah Barakah Ummu Aiman, mantan budak Rasulullah SAW.

( FAIDAH ) :

Dalam riwayat Salma, istri Abu Rafi’ terdapat keterangan bahwa ia minum sebagian air yang digunakan mandi oleh Rasulullah SAW lalu beliau berkata kepadanya, “Allah telah mengharamkan badanmu masuk neraka.” HR Al Turmudzi dalam Al Ausaath dari haditsnya Salmaa. Ada kelemahan dalam sanad hadits ini.
Demikian dalam Al Talkhish vol. I hlm. 32
.Al Qasthalani berkata, “Terdapatnya kelemahan pada sanad adalah pandangan yang dikemukakan Syaikhul Islam Al Bulqini. Hadits-hadits di atas mengindikasikan bahwa air seni dan darah Nabi SAW itu suci

HADITS SARAH PELAYAN UMMU SALAMAH RA

Al Thabarani meriwayatkan dari Hukaimah binti Umaimah dari ibunya, ia berkata :  
كَانَ لِلنَّبِيِّ قَدَحٌ مِنْ عِيْدَانٍ يَبُوْلُ فِيْهِ وَيَضَعَهُ تَحْتَ سَرِيْرِهِ , فَقَامَ فَطَلَبَهُ فَلَمْ يَجِدْهُ , فَسَأَلَ فَقَالَ : أَيْنَ الْقَدَحُ ؟ قَالُوْا : شَرِبَتْهُ سَرَةٌ خَادِمٌ ِلأُمِّ سَلَمَةَ الَّتِيْ قَدِمَتْ مَعَهَا مِنْ أَرْضِ الْحَبَشَةِ فَقَالَ النَّبِيُّ : لَقَدْ اِحْتَظَرَتْ مِنَ النَّارِ بِحَظَّارٍ

Nabi Saw memiliki gelas kayu yang digunakan untuk menampung air seni beliau dan ditaruh di bawah tempat tidur. Saat beliau bangun beliau mencarinya tapi tidak menemukan gelas itu. Lalu beliau bertanya, “Di manakah gelas?” Para sahabat menjawab,”Isi gelas diminum oleh Sarrah pelayan Ummu Salamah yang datang bersama Ummu Salamah dari Habasyah.” “Ia telah memagari dirinya dari api neraka dengan pagar yang kuat,” jawab Nabi selanjutnya. 
Al Haitsami dalam vol. VIII hlm. 271 berkata, “Para perawi hadits ini sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih kecuali Abdullah ibnu Ahmad ibnu Hanbal dan Hukaimah. Keduanya adalah perawi yang kuat ( tsiqah ).

PANDANGAN ULAMA MENYANGKUT TOPIK TABARRUK DENGAN 
DARAH DAN AIR SENI NABI SAW

Dalam syarh Al Muhadzdzab Al Imam Muhyiddin Al Nawawi mengatakan, “Ulama yang menilai kesucian air seni dan darah Nabi Saw menggunakan dua hadits yang telah dikenal sebagai dalil. Yaitu hadits :
·          Sesungguhnya Abu Thaibah seorang tukang bekam membekam Nabi Saw dan meminum darahnya sedang beliau tidak mengingkari tindakan Abu Thaibah ini
·         dan hadits : Sesungguhnya seorang perempuan meminum air seni beliau dan beliau tidak mengingkarinya.
Status hadits Abu Thaibah itu lemah sedang hadits perempuan yang meminum air seni beliau itu shahih yang diriwayatkan oleh Al Daruquthni. Al Daruquthni berkata, “Hadits tentang perempuan yang minum air seni Nabi ini statusnya hasan shahih. Dan hal ini secara analogi cukup dijadikan sebagai argumen akan kesucian segala sesuatu yang dikeluarkan oleh tubuh Nabi. Selanjutnya Al Nawawi menyatakan, “Bahwa Al Qadli Husain berkata, “Yang paling shahih ( Al Ashahh ) memastikan kesucian segala sesuatu yang dikeluarkan oleh tubuh Nabi.” Dalam mengomentari pertanyaan mengapa beliau membersihkan hal-hal yang dikeluarkan oleh tubuh beliau, Al Nawawi menjawab bahwa  kesunnahan.”
Syarh Al Muhadzdzab vol. I hlm. 233.

Al Imam Al ‘Allamah Badruddin Al ‘Aini pensyarah Shahih Al Bukhari dalam kitabnya ‘Umdatul Qaari vol II hlm. 35 menyatakan, “Adapun rambut Nabi Saw itu dimuliakan, diagungkan serta dikeluarkan dari hukum najis.
Saya katakan, “Ucapan Al Mawardi : “Adapun rambut Nabi maka pendapat madzhab yang shahih itu memastikan kesuciannya”, mengindikasikan bahwa mereka ( Wahhabi ) memiliki pendapat yang berbeda dengan madzhab shahih. Na’udzubillah dari pendapat ini. Sebagian pengikut madzhab Syafi’i telah melanggar ijma’ dan hampir keluar dari lingkaran agama Islam di mana mereka mengatakan bahwa dalam rambut Nabi ada dua pandangan. Mustahil status rambut Nabi diperselisihkan. Mengapa mereka sampai berpandangan demikian ? Padahal telah disebutkan tentang kesucian hal-hal yang dikeluarkan oleh tubuh Nabi, lebih-lebih rambut beliau yang mulia.
Selanjutnya Al ‘Aini berkata, “Terdapat banyak hadits yang menerangkan mereka yang telah meminum darah Nabi. Di antaranya Abu Thaibah Al Hajjam ( tukang bekam ), seorang budak Qurays yang membekam beliau. Abdullah ibnu Al Zubair sendiri pernah meminum darah Nabi seperti diriwayatkan Al Bazzar, Al Thabarani, Al Hakim, Al Baihaqi, dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’. Diriwayatkan dari Ali bahwa ia pernah meminum darah Nabi. Diriwayatkan pula bahwa Ummu Sulaim pernah meminum air kencing Nabi. Hal ini diriwayatkan oleh Al Hakim, Al Daruquthni, Al Thabarani dan Abu Nu’aim. Dalam Al Awsath pada riwayat Salmaa, istri Abu Rafi’, Al Thabarani meriwayatkan bahwa Salmaa meminum sebagian dari air yang digunakan untuk mandi oleh Nabi Saw lalu beliau berkata kepadanya, “Allah telah mengharamkan badanmu masuk neraka.”
Al Hafidh Al Qasthalani dalam Al Mawahib mengomentari pendapat Al Nawawi dari Al Qadli Husain, “Pendapat yang ashahh ( paling shahih ) adalah memastikan kesucian hal-hal yang dikeluarkan oleh badan Nabi ( Al Fadlalat ).” Abu Hanifah juga berpendapat seperti ini sebagaimana dituturkan oleh Al ‘Aini. Syaikhul Islam Ibnu Hajar menyatakan, “Sungguh banyak dalil-dali yang menunjukkan kesucian hal-hal yang dikeluarkan oleh badan Nabi Saw ( Al Fadlalat ).” Para Aimmah menilai kesucian ini termasuk keistimewaan beliau Saw.

 

Fiqh Barokah (45-47)


HADITS DARI SUFAINAH MAULA NABI SAW

Al Thabarani meriwayatkan dari Safinah RA, ia berkata : 
  اِحْتَجَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ : حُذْ هَذَا الدَّمَ فَادْفِنْهُ مِنَ الدَّوَابِّ وَالطَّيْرِ وَالنَّاسِ , فَتَغَيَّبْتَ فَشَرِبْتُهُ , ثُمَّ ذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَضَحِكَ . (

Nabi SAW melakukan bekam lalu beliau berkata, “Ambillah darah ini lalu kuburlah agar tidak diminum oleh binatang, burung dan manusia.” Saya kemudian bersembunyi dan meminum darah itu. Selanjutnya hal ini saya sampaikan kepada beliau dan beliau tertawa.
Kata Al Haitsami dalam vol. VIII hlm. 280 : “Para perawi hadits riwayat Al Thabarani itu kuat.

HADITS MALIK IBNU SINAN RA

Dalam Sunan Sa’id ibnu Manshur dari jalur ‘Amr ibnu Al Sa’ib bahwasanya sampai kepada ‘Amr bahwa Malik ibnu Sinan ayah dari Abu Sa’id Al Khudlri ketika Rasulullah terluka pada wajah beliau yang mulia dalam perang Uhud maka Malik menghisap luka Nabi sampai luka tersebut bersih dari darah dan tampak daerah yang terluka setelah dihisap berwarna putih. “Muntahkan darah itu ! perintah Nabi kepadanya.
“Saya tidak akan memuntahkannya selamanya,” jawabnya
 lalu ia pun menelan darah yang dihisapnya.
 مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا فَاسْتَشْهَدَ بِأُحُدٍ
Barangsiapa yang ingin melihat lelaki penghuni surga maka lihatlah kepadanya,” kata Nabi.
Akhirnya Malik mati syahid dalam medan perang Uhud. 

 Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Al Thabarani yang di dalamnya tercantum : Nabi SAW bersabda :
 مَنْ خَالَطَ دَمِيْ دَمَهُ لاَ تَمَسَّهُ النَّارُ 
Siapa yang mencapur darahnya dengan darahku, ia tidak akan terkena api neraka.” 
Kata Al Haitsami, “Dalam isnad hadits ini saya tidak melihat perawi yang disepakati dla’if. 
 Sa’id ibnu Manshur juga meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda :
 مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَنْظُرَ  اِلَى رَجُلٍ خَالَطَ دَمِيْ دَمَهُ فَالْيَنْظُرْ إِلَى مَالِكٍ بْنِ سِنَانٍ
Siapa yang merasa senang melihat lelaki yang mencampur darahku dengan darahnya maka hendaklah melihat Malik ibnu Sinan.

TUKANG BEKAM LAIN YANG MEMINUM DARAH NABI SAW

Dalam Al Dlu’afaa’ Ibnu Hibban meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Seorang budak milik sebagian suku Qurays membekam Nabi SAW. Setelah selesai dari membekam ia mengambil darah dan pergi membawanya menuju belakang tembok. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri dan ia tidak melihat siapapun. Lalu ia meminum darah Nabi sampai tuntas lalu datang kepada Nabi. Beliau memandang wajah budak itu dan bertanya, “Celaka kamu, apa yang kamu lakukan terhadap darah ?”
 “Saya sembunyikan di belakang tembok,” jawab budak.
“Di mana kamu menyembunyikan darah ?” tanya Nabi lagi.
“Wahai Rasulullah !, saya tahan darahmu dari saya tumpahkan ke tanah. Darah itu ada dalam perutku,” jawab sang budak.
 “Pergilah !, engkau telah melindungi dirimu dari api neraka,” kata Nabi.
 ( Disebutkan oleh Al Qasthalani dalam Al Mawaahib Al Laadunniyyah ).


Fiqh Barokah ( 44 )


TABARRUK DENGAN DARAH NABI SAW

Hadits Abdullah ibnu Zubair RA :
Dari ‘Amir ibnu Abdullah ibn Zubair bahwa ayahnya menceritakan kepadanya bahwa ia datang kepada Nabi SAW pada saat beliau sedang melakukan bekam. Setelah Nabi selesai berbekam beliau berkata :  
 يَاعَبْدَ اللهِ ! اِذْهَبْ بِهَذَا الدَّمِ فَاَهْرِقْهُ حَيْثُ لاَ يَرَاكَ أَحَدٌ , فَلَمَّا بَرَزَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ عَدَلَ إِلَى الدَّمِ فَشَرِبَهُ , فَلَمَّا رَجَعَ قَالَ : يَاعَبْدَ الله ! مَا صَنَعْتَ بِالدَّمِ ؟ قَالَ : جَعَلْتُهُ فِيْ أَخْفَى مَكَانٍ عَلِمْتُ أَنَّهُ يَخْفَى عَنِ النَّاسِ , قَالَ : لَعَلَّكَ شَرِبْتَهُ ؟ قَالَ : نَعَمْ , فَقَالَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِمَ شَرِبْتَ الدَّمَ ؟ وَيْلٌ لِلنَّاسِ مِنْكَ وَوَيْلٌ لَكَ مِنَ النَّاسِ .

  “Wahai Abdullah, pergilah dan tumpahkanlah darah ini di tempat yang tidak diketahui orang.” Ketika Abdullah keluar meninggalkan Rasulullah ia mendekati darah tersebut dan meminumnya. Ketika ia kembali, Nabi bertanya, “Apa yang kamu lakukan terhadap darah?”
 “Saya letakkan darah tersebut dalam tempat paling tersembunyi yang saya tahu bahwa tempat itu tersembunyi dari manusia,” jawab Abdullah ibnu Zubair. 
“Paling engkau meminumnya.”“Benar.”
“Celakalah manusia karena kamu dan celakalah kamu karena mereka,” kata Nabi.

  Berkata Abu Musa : Berkata Abu Qasim : Orang-orang menganggap bahwa kekuatan yang dimiliki Abdullah ibnu Zubair adalah akibat meminum darah Nabi SAW. (Al Ishabah vol. II hlm. 310).
Al Hakim meriwayatkan pada vol. III hlm 554 dan Thabarani semisal hadits dari Abdullah ibnu Abbas di atas. Al Haitsami berkata dalam vol. VIII hlm. 270 : Hadits di atas diriwayatkan oleh Al Thabarani dan Al Bazzar dengan singkat. Para perawi Al Bazzar adalah para perawi yang sesuai dengan kriteria hadits shahih kecuali Hunaid ibnu Al Qasim yang nota bene tsiqah (kredibel). 
Ibnu ‘Asakir juga meriwayatkan semisal hadits riwayat Ahmad sebagaimana dijelaskan dalam Al Kanzu vol. VII hlm. 57 besertaan dengan menyebut ucapan Abu ‘Ashim. Dalam sebuah riwayat disebutkan : Berkata Abu Salamah : “Para sahabat menilai bahwa kekuatan yang dimiliki Abdullah ibnu Al Zubair berasal dari kekuatan darah Rasulullah SAW. 
Dalam versi Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’ vol. I hlm. 33 dari Kaisan maula Abdullah ibnu Al Zubair RA berkata :  

دَخَلَ سَلْمَانُ رَضِيَ الله عَنْهُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِذًا عَبْدُ الله ابْنُ الزُّبَيْرِ مَعَهُ طَسْتٌ يَشْرَبُ مَا فِيْهَا , فَدَخَلَ عَبْدُ اللهِ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ فَقَالَ لَهُ : فَرَغْتَ ؟ قَالَ : نَعَمْ , قَالَ سَلْمَانُ : مَا ذَاكَ يَارَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : أَعْطَيْتُهُ غُسَالَةَ مَحَاجِمِى يَهْرِيْقُ مَا فِيْهَا , قَالَ سَلْمَانُ : ذَاكَ شَرِبَهُ وَالَّذِيْ بَعَثَكَ بِالْحَقِّ , قَالَ : شَرِبْتَهُ ؟ قَالَ : نَعَمْ , قَالَ : لِمَ ؟ قَالَ : أَحْبَبْتُ أَنْ يَكُوْنَ دَمُ رَسُوْلِ اللهِ فِيْ جَوْفِيْ , فَقَامَ وَرَبَتْ بِيَدِهِ عَلَى رَأْسِ ِابْنِ الزُّبَيْرِ , وَقَالَ : وَيْلٌ لَكَ مِنَ النَّاسِ وَوَيْلٌ لِلنَّاسِ مِنْكَ لاَ تَمَسَّكَ النَّارُ ِإلاَّ قَسَمَ الْيَمِيْنِ .

 “Salman masuk menemui Rasulullah SAW. Kebetulan ada Abdullah ibnu Al Zubair yang membawa sebuah baskom dan sedang meminum isinya. Abdullah lalu masuk menemui beliau.
“Sudah selesai ?” tanya beliau.
“Sudah,” jawab Abdullah.
“Apa itu ?, wahai Rasulullah !” tanya Salman.
“Saya berikan kepada Abdullah wadah yang berisi bekas darah bekamku untuk dibuang isinya, “ jawab Nabi.
 “Demi Dzat yang mengutusmu dengan haq, ia telah meminumnya, “ lanjut Salman.
 Nabi pun bertanya kepada Abdullah, “Apa kamu meminumnya ?”
 “Benar,” jawab Abdullah.
 “Mengapa.”
“Saya ingin darah Rasulullah ada dalam perutku.”
Nabi lalu bangkit berdiri dan mengusap kepala Abdullah dengan tangan beliau dan berkata, “Celakalah manusia karena kamu dan celakalah kamu karena mereka. Neraka tidak akan menyentuhmu kecuali sumpah”

Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari Salman semisal hadits ini dengan singkat dan para perawinya adalah para perawi yang kredibel. ( tsiqaat ). Demikian dalam Al Kanzu VII hlm. 56. Al Daruquthni dalam Sunannya meriwayatkan hadit semisal. 
Dalam sebuah riwayat : Bahwa Abdullah ibnu Al Zubair ketika meminum darah Rasulullah ditanya oleh Nabi SAW, “Apa yang mendorongmu melakukan hal ini ?”
 “Saya yakin bahwa darahmu tidak akan terkena api neraka Jahannam maka karena alasan inilah aku meminumnya,” jawab Abdullah.
 “Celakalah kamu karena manusia,” ujar Nabi SAW.

 Versi Ad-Daruquthni dari haditsnya Asmaa’ binti Abi Bakr semisal hadits di atas dan di dalamnya berisi sbb : “Api neraka tidak akan menyentuhmu.”
 Dalam Kitabu Al Jauhari Al Maknuni fi Dzikri Al Qabaaili wa Al Buthuni sbb : “Ketika Abdullah minum darah Nabi SAW maka mulutnya menebarkan bau harum misik dan bau ini tidak pernah hilang dari mulutnya sampai ia disalib.”
(Al Mawaahib karya Al Hafidh Al Qasthalani). 


Fiqh Barokah (41-43)


TABARRUK DENGAN KERINGAT NABI SAW :

1.      Dari ‘Utsman dari Anas bahwa Ummu Sulaim menggelar alas dari kulit untuk Nabi. Lalu beliau tidur siang dengan menggunakan alas itu di tempat Ummu Sulaim. “Jika Nabi telah tertidur,” kata Anas, “maka Ummu Sulaim mengambil keringat dan rambut beliau lalu dimasukkan dalam botol kemudian dicampurkan ke dalam minyak wangi sukk.” “Menjelang wafat Anas ibnu Malik berwasiat agar rambut dan keringat Nabi dimasukkan dalam ramuan obat yang dimasukkan pada kafannya, dari wewangian sukk.” Kata ‘Utsman, “Rambut dan keringat itu ditaruh di ramuan obatnya yang dimasukkan pada kafan.”
HR. Al Bukhari dalam Kitabul Isti’dzan man Zara Qauman Faqaala ‘Indahum.

2.       Dalam sebuah riwayat dari Muslim berbunyi : “Nabi masuk menemui kami lalu beliau tidur siang dan berkeringat. Kemudiaan ibuku datang membawa botol lalu memasukkan keringat Nabi ke dalamnya. Nabi pun akhirnya terbangun dan bertanya, “Wahai Ummu Sulaim !, apa yang kamu lakukan ?” “Ini adalah keringatmu yang aku campurkan pada wewangianku. Keringat ini adalah wewangian paling harum,” jawab Ummu Sulaim.
3.      Dalam riwayat Ishaq ibnu Abi Thalhah sebagai berikut : “Nabi berkeringat lalu keringat itu dikumpulkan oleh Ummu Sulaim dalam sepotong kulit kuno lalu diseka dan diperas dimasukkan dalam botol-botol miliknya hingga akhirnya Nabi terbangun dan bertanya, “Apa yang kamu lakukan ?”
Kami mengharapkan keberkahan keringatmu untuk anak-anak kecil kami,” jawab Ummu Sulaim.
“Kamu benar,” lanjut Nabi.

Dalam riwayat Abu Qilabah sebagai berikut : “Ummu Sulaim mengumpulkan keringat Nabi dan dimasukkan dalam wewangian dan botol. “Apa ini ? tanya Nabi.
 “Keringatmu yang saya campurkan ke dalam wewangianku,” jawab Ummu Sulaim. 
Dari riwayat-riwayat di atas bisa disimpulkan bahwa Nabi melihat apa yang dilakukan Ummu Sulaim dan membenarkan tindakannya itu. Tidak ada kontradiksi antara ucapan Ummu Sulaim bahwa ia mengumpulkan keringat Nabi untuk dicampurkan ke dalam wewangiannya dengan ucapannya untuk mengharap keberkahan. Justru bisa dipahami bahwa ia melakukannya untuk dua alasan tersebut.
Fathul Baari vol. XI hlm. 2.





TABARRUK DENGAN MENYENTUH KULIT NABI SAW :
 

Dari Abdurrahman ibnu Abi Laila dari ayahnya, ia berkata, “Usaid ibnu Hudlair adalah seorang lelaki yang shalih, suka tertawa dan jenaka. Saat ia bersama Rasulullah ia sedang bercerita di hadapan orang-orang dan membuat mereka tertawa. Rasulullah lalu memukul pinggangnya.
“Engkau telah membuatku merasa sakit,” kata Usaid.
“Silahkan membalas,” jawab Nabi.
 “Wahai Rasulullah, engkau mengenakan qamis sedang saya tidak,” ujar Usaid. “Lalu,” kata ayah Abdurrahman, “beliau melepas qamisnya dan Usaid merangkul beliau dan menciumi pinggang beliau.”
“Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, wahai Rasulullah, saya menginginkan ini,” kata Usaid.
 Kata Al Hakim, “Hadits ini isnadnya shahih namun Al Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya.” Al Dzahabi juga sependapat dengan Al Hakim. “Hadits ini shahih,” kata Al Dzahabi.
Ibnu ‘Asakir juga meriwayatkan dari Abu Laila hadits yang sama dengan hadits ini sebagaimana keterangan yang terdapat dalam Al Kanzu vol. VII hlm. 701.
Saya berkata, “Hadits semisal juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al Thabarani dari Abu Laila, sebagaimana terdapat dalam AL Kanzu vol. IV hlm. 43.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Hibban ibnu Wasi’ dari beberapa guru dari kaumnya bahwa Rasulullah meluruskan barisan para sahabatnya dalam perang Badar. Beliau membawa anak panah di tangan untuk meluruskan barisan mereka. Lalu lewat Sawad ibnu Ghazyah, sekutu bani ‘Adi ibnu Al Najjar. Ia keluar dari barisan perang. Beliau kemudian memukul perutnya dengan anak panah sambil berkata, “Luruslah, wahai Sawad !”
“Wahai Rasulullah !, engkau telah menyakitiku padahal Allah mengutusmu dengan membawa kebenaran dan keadilan. Berilah kesempatan bagi saya untuk membalasmu dengan setimpal, “ujar Sawad.
Rasulullah kemudian menyingkap badannya. “Silahkan membalas, “perintah Nabi.
Tiba-tiba Sawad merangkul dan mencium perut Nabi.
“Apa yang mendorongmu melakukan hal ini, wahai Sawad, “tanya Nabi.
 “Telah Tiba apa yang engkau bisa dilihat. Maka saya ingin akhir waktu pertemuan denganmu, agar kulitku menyentuh kulitmu, “jawab Sawad.
 Akhirnya rasululullah mendoakan Sawad mendapat kebaikan.
Demikian dari Al Bidayah wa Al Nihayah vol VI hlm. 271. 

Abdurrazaq meriwayatkan dari Al Hasan bahwa Nabi SAW bertemu dengan seorang lelaki yang menggunakan semir kuning. Tangan beliau sendiri memegang pelepah kurma. “Tumbuh tanaman waras,”kata Nabi.
 Lalu beliau menusuk perut lelaki tersebut dengan pelepah kurma dan berkata, “Bukankah saya telah melarangmu melakukan ini ( keluar dari barisan ) ?”
 Tusukan beliau menimbulkan luka berdarah pada perut lelaki itu.
“Pembalasan sepadan, wahai Rasulullah !” ujar sang lelaki.
“Apakah kepada Rasulullah kamu berani meminta pembalasan, “tanya orang-orang.
“Tidak ada kulit siapapun yang memiliki kelebihan atas kulitku,” jawabnya.
 Lalu Rasulullah menyingkap perutnya kemudian berkata, “Balaslah dengan sepadan !”
“Saya tidak akan membalas, agar engkau memberiku syafaat kelak di hari kiamat,” jawab lelaki itu.
Demikian dikutip dari Al Kanzu vol. XV hlm. 91.

Dalam vol. III hlm 72 Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Al Hasan bahwa Rasulullah SAW melihat Sawad ibnu ‘Amr berselimut. Demikian dikatakan Ismail. Lalu Nabi bekata, “ Tumbuh tumbuh, tanaman waras tanaman waras.” Kemudian Nabi menusuk perut Sawad dengan kayu atau siwak. Perut Sawad pun bergoyang dan ada bekas tusukan. Lalu Ibnu Sa’ad menuturkan hal yang sama yang diriwayatkan Abdurrozaq. 
Abdurrazaq juga meriwayatkan dari Al Hasan sebagaimana disebutkan dalam Al Kanzu vol. XV hlm. 19. Al Hasan berkata, “Ada seorang lelaki Anshar yang dipanggil Sawadah ibnu ‘Amr. Ia memakai wewangian seolah-olah ‘urjun . Jika Nabi melihatnya maka ia gemetaran. Suatu hari ia datang dengan memakai wewangian. Kemudian Nabi menusukkan kayu kepadanya yang membuatnya terluka.
“Pembalasan setimpal, wahai Rasulullah !” kata lelaki itu,
 lalu beliau menyerahkan kayu kepadanya. Nabi sendiri saat itu memakai dua qamis. Kemudian beliau melepaskan kedua qamisnya. Orang-orang membentak dan menghalangi Sawadah hingga saat Sawadah sampai di tempat di mana ia dilukai Nabi ia melempar pedangnya yang tajam dan menciumi Nabi.
“Wahai Nabi Allah, saya tidak akan membalas, agar engkau memberi syafaat kepadaku di hari kiamat, “kata Sawadah.
 Al Baghawi meriwayatkan hadits yang sama sebagaimana tercantum dalam Al Ishabah vol. II hlm. 96.

HADITS TENTANG ZAHIR RA :

Rasulullah SAW bersabda, “Zahir orang kampung kami, sedang kami orang kota dia.” Beliau sendiri senang terhadap Zahir. Suatu hari beliau berjalan masuk pasar dan melihat Zahir sedang berdiri. Lalu beliau datang dari arah belakang Zahir dan dengan tangannya beliau memeluk Zahir menempelkan ke dada beliau. Zahir mengerti bahwa yang memeluknya adalah Rasulullah.
“Saya mengusapkan punggungku pada dada beliau berharap keberkahan beliau,” kata Zahir. 

 Dalam riwayat Al Turmudzi dalam Al Syamaa’il sebagai berikut : “Lalu Nabi merangkulnya dari belakang dan Zahir tidak melihat beliau. “Lepaskan, siapakah ini,” kata Zahir.
Zahir pun menoleh dan ternyata orang yang merangkulnya adalah Nabi SAW. Akhirnya ia tetap membiarkan punggungnya menempel pada dada beliau.
Rasulullah pun berkata, “Siapakah yang mau membeli budak ?”
“Wahai Rasulullah, jika saya dijual maka saya tidak akan laku,” kata Zahir.
“Di mata Allah hargamu mahal,” balas Nabi.
 Dalam riwayat Al Turmudzi pula : “Di mata Allah engkau laku” atau “Di mata Allah engkau mahal.”
(Al Mawaahib Al Laadunniyyah vol. I hlm. 297)

Peringatan Haul KH. Abdul Fattah Hasyim Ke 36 & Ny. Hj. Musyarrofah Bisri Ke 4, Pertemuan Alumni Besuk Pada Hari Kamis, 21 Maret 2013