Rabu, 15 Juni 2011

Fiqh Ziarah ( 13 )


ADANYA SEBAGIAN KAROMAH DI ATAS UNTUK SELAIN PARA NABI AS

Para ulama telah meriwayatkan sedikit dari karomah-karomah yang telah disampaikan di atas yang dialami oleh sebagian generasi al salaf al shalih yang terjadi setelah mereka wafat. Karomah-karomah itu diriwayatkan oleh para perawi yang kuat dan dari para perawi yang kuat juga yang menyaksikan karomah-karomah itu dengan mata kepala mereka sendiri. Sebagian karomah ini akan kami kutip di sini dari Al Syaikh Muhammad ibnu ‘Abdil Wahhab. Dalam kitabnya “Ahkaamu Tamanni Al Maut” beliau mengatakan dalam kumpulan karya-karyanya yang disebarkan oleh Universitas Al Imam Muhammad ibnu Su’ud sebagai berikut :
SHOLAT DI DALAM KUBUR :

Hadits riwayat Ahmad dari ‘Affan dari Hammad dari Tsabit bahwasanya ia berkata, “Ya Allah, jika Engkau memberikan kesempatan seseorang untuk melaksanakan sholat dalam kuburannya maka berilah aku kesempatan untuk melaksanakannya dalam kuburanku.”
Hadits riwayat Abu Nu’aim dari Jubair ia berkata,
“Saya – demi Allah yang tiada Tuhan melainkan Dia – memasukkan Tsabit Al Bunani ke dalam liang lahatnya. Saya melakukannya bersama Hamid Al Thawil. Ketika kami meratakan batu bata di atas kuburan, sebuah batu bata jatuh. Ternyata saya melihat Tsabit sedang sholat di dalam kuburannya.

MEMBACA AL QUR’AN :

Hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Jarir dari Ibrahim ibnu Al Muhallabi ia berkata, “Menceritakan kepadaku mereka yang melewati Al Jash di waktu sahur, ”Jika kami melewati kuburan Tsabit Al Bunani maka kami mendengar bacaan Al Qur’an.”
Hadits riwayat Al Turmudzi yang dinailainya shahih dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Sebagian sahabat Nabi Saw mendirikan kemah di atas kuburan. Ia tidak mengira bahwa lokasi itu adalah kuburan. Tiba-tiba ia mendengar dari dalam kuburan seseorang yang membaca surat Al Mulk sampai selesai. Lalu ia mendatangi Nabi dan menceritakan pengalaman yang dialaminya. Maka Rasulullah Saw bersabda :

هِيَ الْمَانِعَةُ , هِيَ الْمُنْجِيَةُ ,تُنْجِيْهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ

“Surat Al Mulk adalah penolak siksa kubur dan penyelamat yang menyelamatkan mayit dari adzab kubur,” jawab beliau.

 Hadits riwayat Al Nasa’i dan Al Hakim dari ‘Aisyah, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda :  

  نَمْتُ فَرَأَيْتُنِيْ فِي الْجَنَّةِ - وَلَفْظُ النَّسَائِيْ : دَخَلْتُ الْجَنَّةَ فَسَمِعْتُ صَوْتَ قَارِئٍ يَقْرَأُ , فَقُلْتُ : مَنْ هَذَا ؟ قَالُوْا : حَارِثَةُ بْنُ النُّعْمَانُ , فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : كَذَاكَ الْبِرُّ , كَذَاكَ الْبِرُّ , كَذَاكَ الْبِرُّ , وَكَانَ أَبَرَّ النَّاسِ بِأُمِّهِ .

 “Saya tidur lalu bermimpi berada di surga.” Redaksi Al Nasa’i berbunyi : - Saya masuk ke dalam surga -. Lalu saya mendengar seseorang membaca Al Qur’an. “Siapakah orang yang membaca Al Qur’an ini ? “tanyaku. Mereka menjawab, “Haritsah ibnu Nu’man.” “Demikianlah kebajikan, Demikianlah kebajikan, Demikianlah kebajikan,”ujar beliau Saw. Haritsah ibnu Nu’man adalah orang yang paling berbakti pada ibunya.
Hadits riwayat Ibnu Abi Al Dunya dari Al Hasan, ia mengatakan, “Sampai kepadaku bahwa seorang mu’min jika ia mati dan tidak mampu membaca Al Qur’an maka para malaikat hafadhah diperintahkan untuk mengajarkan Al Qur’an kepadanya di dalam kuburan sehingga ia dibangkitkan Allah di hari kiamat beserta orang-orang yang mampu membacanya.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Al Dunya dari Yazid Al Raqqasyi semisal hadits dari Al Hasan. Al Silafi meriwayatkan kandungan hadits Al Hasan dari hadits-hadits mursal ‘Athiah Al ‘Aufi.


PENGHUNI KUBUR SALING MENGUNJUNGI

:Hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Sirin, ia ( Ibnu Abi Syaibah ) berkata, “Ibnu Sirin senang akan kafan yang baik.” “Para penghuni kubur itu saling berkunjung dengan mengenakan kafan masing-masing,” jawab Ibnu Sirin.
Makna atsar ini juga terdapat dalam Musnad Ibnu Abi Syaibah dari Jabir dengan status marfu’. Di dalamnya terdapat redaksi : “Mereka saling membangga-banggakan dan saling berkunjung dalam kuburan mereka.”
 Hadits riwayat Muslim dari haditsnya sendiri sebagai berikut : “Jika salah seorang dari kalian mengurusi jenazah saudaranya maka hendaklah membungkusnya dengan kafan yang baik.”
Hadits riwayat Al Turmudzi, Ibnu Majah dan Muhammad ibnu Yahya Al Hamdani dalam shahihnya dari Abi Qatadah dengan status marfu’ sebagai berikut :
“Jika salah seorang dari kalian mengurusi jenazah saudaranya maka hendaklah membungkusnya dengan kafan yang baik. Karena mereka saling berkunjung di dalam kuburan mereka”

RISALAH ( KIRIMAN ) DARI DUNIA KE BARZAKH BERSAMA MAYIT :
Ibnu Abi Al Dunya meriwayatkan dengan sanad yang tidak perlu dipersoalkan dari Rasyid ibnu Sa’ad bahwa isteri seorang lelaki meninggal dunia lalu lelaki itu melihat beberapa wanita dalam mimpi. Tapi ia tidak melihat isterinya bersama mereka. Akhirnya ia menyakan keberadaan isterinya kepada para wanita itu. “Kamu memberinya kafan yang pendek. Ia malu untuk keluar bersama kita, “ jawab mereka.
Kemudian lelaki itu datang kepada Nabi dan mengabarkan mimpinya. “Perhatikan !, apakah ada yang dapat dipercaya yang bisa memberi solusi ?” ujar beliau.
Lalu lelaki ini mendatangi seorang laki-laki dari golongan Anshar yang akan dijemput ajal. Ia mengabarkan peristiwa yang dialami kepadanya. “Jika seseorang bisa menyampaikan sesuatu kepada orang-orang yang telah mati maka saya akan menyampaikannya, “jawab laki-laki dari golongan Anshar ini.
 Kemudian laki-laki Anshar ini meninggal dunia dan suami wanita yang telah meninggal itu datang dengan membawa dua pakaian yang diberi parfum za’faran. Ia meletakkan kedua pakaian itu dalam kafan laki-laki Anshar. Ketika malam tiba suami wanita itu bermimpi melihat para wanita yang di dalamnya ada juga isterinya yang mengenakan dua pakaian berwarna kuning.

Ibnu Al Jauzi meriwayatkan dari Muhammad ibnu Yusuf Al Firyabi kisah seorang perempuan yang bermimpi melihat ibunya mengadukan kain kafan kepadanya. Lalu keluarga perempuan itu menceritakan hal ini kepada Muhammad dan meminta solusi kepadanya. Dalam kisah ini diceritakan sebagai berikut :
Bahwa Ibu dari perempuan itu berkata, “Belilah kafan untukku dan kirimkan beserta fulanah.” Al Firyabi berkata, “Lalu saya menyebutkan sebuah hadits bahwasanya para penghuni kubur saling berkunjung dengan mengenakan kain kafan mereka. Kemudian saya berkata, “Belilah kafan untuk Ibu !”
Perempuan yang bermimpi itu akhirnya mati pada hari yang telah saya sebutkan dan keluarganya meletakkan kain kafan bersama jenazahnya.

CAHAYA DI ATAS KUBURAN :
Hadits riwayat Ibnu Abi Al Dunya dari Abi Ghalib – sahabat Abu Umamah – bahwasanya seorang pemuda di Syam hendak dijemput ajal. Ia bertanya kepada pamannya, “Bagaimana menurutmu jika Allah menyerahkan diriku kepada Ibuku. Apa yang akan dia lakukan padaku ?” “Jika demikian, demi Allah Ibumu akan memasukkanmu ke dalam surga. “Demi Allah, Allah lebih sayang kepadaku melebihi Ibuku, “ lanjut sang pemuda. Akhirnya pemuda itu meninggal dunia. Lalu Ibunya beserta pamannya masuk ke dalam kubur. “Dengan batu bata mentah,” kata kami. Lalu kami meratakan batu bata itu di atas kuburannya. Tiba-tiba sebuah batu bata jatuh. Sang paman lalu melompat dan mundur. “Apa yang terjadi ?, “ tanyaku. “Kuburannya dipenuhi cahaya dan dilapangkan sejauh pandangan matanya,” jawab sang paman.
Dan di dalam hadits riwayat Abi Dawud dan perawi lain dari ‘Aisyah, ia berkata, "Ketika Najasyi wafat kami bercakap-cakap bahwa dari dalam kuburnya senantiasa terlihat cahaya."
Dalam Tarikh Ibnu Asakir dari Abdurrahman ibnu ‘Umarah, ia berkata, “Saya menyaksikan jenazah Al Ahnaf ibnu Al Qais. Saya adalah salah satu orang yang turun masuk dalam kuburannya. Ketika kuburan itu kami ratakan, saya melihat kuburan itu dilapangkan sejauh mata memandang. Saya menceritakan hal ini kepada para sahabat namun mereka tidak melihat apa yang telah saya lihat.
Dari Ibrahim Al Hanafi, ia berkata, “Saat Mahan Al Hanafi disalib di atas pintu rumahnya, kami melihat cahaya di dekat pintu itu di waktu malam.”
Tela`ahlah kitab Ahkaamu Tamannil Maut yang telah dikoreksi sesuai naskah fotokopi 771/86 di Al Maktabah Al Su’udiyyah ( perpustakaan Su’ud ) di Riyadl kajian dari Al Syaihk Abdirrahman Al Sadhan dan Al Syaikh Abdullah Al Jabrin, dalam bagian fiqih nomor dua.
Pada bagian awal buku koleksi, orang-orang menyebut pengesahan naskah dan pembenaran bahwa karangan itu benar milik Al Syaikh. Universitas Al Imam Muhammad ibnu Su’ud di Riyadl denga menyebarkan buku koleksi ini secara lengkap setelah dilakukan penelitian terlebih dahulu di bawah pengawasan Universitas dalam pekan Al Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab.

 JANGAN MEMASANG PELANA
Banyak orang keliru dalam memahami hadits :

لاَ تَشُدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ : اَلْمَسْجِدِ الْحَرَامِ , وَمَسْجِدِيْ هَذَا , وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى

“Tidak boleh dipasang pelana ( tidak boleh pergi melakukan perjalanan ) kecuali hendak menuju ke tiga masjid ; al masjid al haram, masjidku ini, dan al masjid al aqsha.”

Mereka menjadikan hadits ini sebagai dalil atas diharamkannya memasang pelana untuk berziarah kepada Nabi Saw dan menilai bahwa bepergian dengan tujuan berziarah kepada nabi sebagai tindakan maksiat. Argumentasi ini ditolak karena dibangun di atas persepsi yang salah. Hadits ini sebagaimana yang Anda lihat berada dalam konteks yang berbeda dengan argumentasi ini.
Penjelasannya adalah sebagai berikut : “Bahwasanya sabda Nabi Saw, “Jangan dipasang pelana kecuali hendak menuju ke tiga masjid,” menggunakan pola bahasa yang dikenal oleh para ahli bahasa sebagai pola pengecualian. Hal ini otomatis mengharuskan adanya yang dikecualikan dan yang mendapat pengecualian. Yang dikecualikan adalah kalimat yang jatuh setelah illaa sedang yang mendapat pengecualian adalah kalimat sebelum illaa. Kedua hal ini harus ada. Baik secara konkret atau rekaan. Keharusan adanya yang dikecualikan dan yang mendapat pengecualian adalah hal yang telah ditetapkan dan dikenal dalam literatur-literatur nahwu yang paling sederhana pun.
Jika kita memperhatikan hadits ini kita akan menemukan bahwa hadits ini menyebut dengan jelas adanya obyek yang dikecualikan yaitu “Ilaa Tsalatsati Masaajid” ( menuju tiga masjid ) yang jatuh setelah illaa namun tidak menyebut obyek yang mendapat pengecualian yaitu jatuh sebelum illaa. Tidak disebutkannya obyek yang mendapat pengecualian ini berarti ia harus diandaikan keberadaannya.
Jika kita mengandaikan bahwa obyek yang mendapat pengecualian adalah Qabrun ( kuburan ) maka ungkapan yang dinisbnatkan kepada Rasulullah berbunyi “Laa Tusyaddu Al Rihaal ilaa Qabrin Illaa ilaa Tsalatsati Masaajid” ( Jangan dipasang pelana ketika hendak menuju ke kuburan kecuali saat hendak ke tiga masjid ). Rangkaian kalimat semacam ini jelas tidak serasi dan tidak pantas dengan balaghah nabawiyyah ( retorika kenabian ). Karena obyek yang dikecualikan tidak sejenis dengan obyek yang mendapat pengecualian, padahal yang asal obyek yang dikecualikan harus sejenis dengan obyek yang mendapat pengecualiaan. Tidaklah akan merasa tenang hati cendekiawan yang merasa berdosa dari tindakan menisbatkan ungkapan kepada sabda Nabi Saw, yang tidak pernah beliau ucapkan, dengan menisbatkan kalimati qabrin yang tidak relevan dengan yang asal dalam pola pengecualian, kepada beliau. Kalimat qabrin tidak pantas menjadi obyek yang mendapat pengecualian. Kita coba andaikan kalau kalimat yang menjadi obyek yang mendapat pengecualian adalah kalimat makaan (tempat). Selanjutnya ungkapan beliau menjadi berbunyi “Laa Tusyaddu Al Rihaal ilaa Makaanin Illaa ilaa Tsalatsati Masaajid” (Jangan dipasang pelana ketika hendak menuju ke tempat kecuali saat hendak ke tiga masjid). Pengandaian ini berarti mengandung pengertian “janganlah engkau bepergian dengan tujuan berdagang, mencari ilmu atau meraih kebaikan…..”. Pengertian ini sejenis kegilaan yang pasti salah.

Hadits di atas memuat obyek yang dikecualikan namun tidak mengandung obyek yang mendapat pengecualian. Karena itu obyek yang mendapat pengecualian harus diandaikan sesuai konsensus pakar bahasa. Pengandaiannya sendiri tidak lebih dari tiga kemungkinan saja.
Pertama, dengan mengandaikan kalimat qabr yang kemudian mengandung pengertian “Laa Tusyaddu Al Rihaal ilaa Qabrin Illaa ilaa Tsalatsati Masaajid” ( Jangan dipasang pelana ketika hendak menuju ke kuburan kecuali saat hendak ke tiga masjid ).Pengandaian ini didasarkan atas pandangan orang yang menggunakan hadits sebagai argumen larangan bepergian dengan tujuan berziarah. Anda lihat sendiri bahwa pengandaian semacam ini adalah pengandaian lemah yang harus dibuang dan tidak ditoleransi oleh orang yang memiliki pengetahuan paling rendah tentang bahasa Arab. Pengandaian ini tidak pantas dialamatkan kepada Nabi Muhamad ,sosok paling fasih dalam melafalkan huruf dlodl. Maka sungguh mustahil orang sekaliber beliau Saw sepakat dengan gaya bahasa yang rendah ini.

Kedua, pengandaian obyek yang mendapat pengecualian dalam hadits menggunakan kalimat yang umum yaitu makaan ( tempat ). Pengandaian ini sebagaimana diuraikan dimuka adalah pengandaian yang disepakati salah dan tidak ada yang menggunakan pengandaian ini. 

Ketiga, obyek yang mendapat pengecualian dalam hadits diandaikan dengan kalimat masjid yang kemudian rangkaian kalimatnya berbunyi “Laa Tusyaddu Al Rihaal ilaa Masjidin Illaa ilaa Tsalatsati Masaajid” ( Jangan dipasang pelana ketika hendak menuju ke masjid kecuali saat hendak ke tiga masjid ). Kita lihat bahwa ungkapan ini telah selaras dan berjalan sesuai dengan gaya bahasa fasih dan kerancuan arti dari dua bentuk pengandaian lain telah tersingkirkan. Cahaya kenabian juga terlihat dalam ungkapan ketiga ini dan hati orang yang bertakwa merasa tentram menisbatkan pengandaian ini kepada Rasulullah Saw. Dipilihnya bentuk pengandaian ketiga ini jika dipastikan tidak ditemukan riwayat lain yang menjelaskan obyek yang mendapat pengecualian. Namun jika riwayat lain ini ditemukan maka haram bagi orang yang beragama Islam untuk berpindah dari riwayat ini dengan memilih pengandaian semata yang tidak memiliki pijakan pada bahasa yang fasih. 

Alhamdulillah, kami telah menemukan dalam Assunnah Annabawiyyah dari jalur riwayat yang mu’tabar hadits yang menjelaskan obyek yang mendapat pengecualian. Di antaranya adalah riwayat Al Imam Ahmad dari jalur Syahr ibnu Hausab, ia berkata, aku mendengar Abu Said berkata, Rasulullah Saw bersabda :  

 لاَ يَنْبَغِي لِلْمَطِيِّ أَنْ يُشَدَّ رِحَالُهُ إِلَى مَسْجِدٍ تَبْتَغِي فِيْهِ الصَّلاَةُ غَيْرِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ , وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى , وَمَسْجِدِيْ .

“Tidak selayaknya unta tunggangan dipasang pelananya menuju masjid yang didalamnya hendak dikerjakan sholat selain al masjid al haram, al masjid al aqsha dan masjidku ini.”
Menurut Al Hafid Ibnu Hajar Syahr adalah perawi yang baik haditsnya ( hasanul hadits ) meskipun memiliki sebagian kelemahan. ( Fathul Baari vol III hlm 65 ). 
Dalam riwayat lain redaksinya berbunyi : 

 لاَ يَنْبَغِي لِلْمَطِيِّ أَنْ تُشَدَّ رِحَالُهُ إِلَى مَسْجِدٍ يَبْتَغِيْ فِيْهِ الصَّلاَةَ غَيْرِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامَ وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى وَ مَسْجِدِيْ هَذَا .

“Tidak selayaknya unta tunggangan dipasang pelananya menuju masjid yang didalamnya hendak dikerjakan sholat selain masjid al aqsha dan masjidku ini.”
Al Hafidh Al Haitsami mengatakan bahwa dalam sand hadits ini terdapat Syahr yang mendapat komentar pakar hadits dan status haditnya baik ( hasan ). ( Majma’u Al Zawaaid vol IV hlm 3 ). 

Di antaranya lagi adalah hadits yang bersumber dari ‘Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda :  

 أَنَا خَاتِمُ اْلأَنْبِيَاءِ وَمَسْجِدِيْ خَاتِمُ مَسَاجِدِ اْلأَنْبِيَاءِ أَحَقُّ اْلَمَسَاجِدِ أَنْ يُزَارَ وَتُشَدُّ إِلَيْهِ الرَّوَاحِلُ :اَلْمَسْجِدُ الْحَرَامُ وَمَسْجِدِيْ , صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ مِنَ الْمَسَاجِدِ ِإلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَام .

 “Saya adalah penutup para nabi dan masjidku adalah penutup masjid-masjid para nabi. Masjid yang paling berhak diziarahi dan dipasang pelana untuk menuju kepadanya adalah al masjid al haram dan masjidku. Melaksanakan sholat di masjidku lebih utama daripada seribu kali sholat yang dilakukan di masjid-masjid lain selain al masjid al haram.” HR Al Bazzaar
( Majma’u Al Zawaaid vol IV hlm 3 ).

Statemen beliau Saw mengenai masjid-masjid itu untuk menjelaskan kepada ummat bahwa masjid-masjid di luar tiga masjid ini setara dalam keutamaan. Maka tidak ada gunanya bersusah payah pergi ke selain tiga masjid ini. Adapun tiga masjid ini maka ia memiliki keutamaan yang lebih. Kuburan-kuburan tidak masuk dalam hadits ini. Memasukkan kuburan ke dalam hadits ini dikategorikan sebagai bentuk kebohongan terhadap Rasulullah. Fakta ini perlu diperhatikan meskipun ziarah kubur itu sebuah anjuran. Bahkan banyak ulama yang menyebutkannya dalam kitab-kitab manasik dengan dikategorikan sebagai hal-hal yang disunnahkan. Kategori sunnah ini diperkuat oleh banyak hadits yang diantaranya kami sebutkan di bawah ini :

 - Dari Ibnu ‘Umar Ra dari Nabi Saw, beliau berkata :

مَنْ زَارَ قَبْرِيْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِيْ
“Siapa yang menziarahi kuburanku maka ia wajib mendapat syafa’atku.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bazzaar.

Dalam sanad hadits ini ada ‘Abdullah ibnu Ibrahim al Ghifari yang statusnya lemah. Ibnu Taimiyyah juga mengutip hadits ini dan menyatakan statusnya adalah dlo’if. Ia tidak memvonis hadits ini sebagai hadits palsu atau bohong. ( Al Fatawaa vol XXVII hlm 30 ) di tempat ini. Jika dalam keterangan lain ada penilaian yang berbeda dari Ibnu Taimiyyah berarti ia merasa ragu untuk menetapkan status hadits ini atau penilaiannya berubah dan kita tidak mengetahui manakah penilaian yang dahulu dan yang terakhir. Jika memang demikian berarti salah satunya tidak bisa dijadikan acuan.

 - Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda :
 من جاءني زائرا لا يعلم له حاجة إلا زيارتي كان حقا عليّ أن أكون له شفيعا يوم القيامة 

“Barangsiapa yang datang semata-mata untuk berziarah kepadaku, tidak ada maksud lain, maka wajib bagiku untuk memberi syafaat kepadanya di hari kiamat.”
 HR Al Thabarani dalam Al Awsath dan Al Kabir.

Dalam sanad hadits ini terdapat Maslamah ibnu Salim yang statusnya lemah. (Majma’u Al Zawaaid vol I hlm. 265).
 Al Hafidh Al ‘Iraqi mengatakan bahwa hadits ini dikategorikan shahih  oleh Ibnu Al Sakkan. (Al Mughni vol I hlm 265). 

- Dari Ibnu ‘Umar dari Nabi Saw, beliau bersabda :
مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِيْ فِيْ مَمَاتِيْ كَانَ كَمَنْ زَارَنِيْ فِي حَيَاتِيْ

“Barangsiapa yang melaksanakan haji lalu berziarah ke kuburanku pada saat aku telah wafat maka ia seperti orang yang berziarah kepadaku saat aku masih hidup.”
 HR Al Thabarani dalam Al Kabir dan Al Awsath.

Dalam sanad hadits ini terdapat Hafsh ibnu Abi Dawud Al Qari’ yang dinilai kuat oleh Ahmad namun dianggap lemah oleh sekelompok para imam. 

- Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda :

مَنْ زَارَ قَبْرِيْ بَعْدَ مَوْتِيْ كَانَ كَمَنْ زَارَنِيْ فِيْ حَيَاتِيْ
“Barangsiapa menziarahi kuburanku setelah aku wafat maka ia seperti orang yang berziarah kepadaku saat aku masih hidup.” 

Al Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Al Turmudzi dalam Al Shaghir dan Al Awsath. Di dalam sanadnya terdapat ‘Aisyah binti Yunus. Saya tidak menemukan orang yang menulis biografi Yunus.” Demikian dikutip dari Majma’ Al Zawaaid vol IV hlm 2. 

 Walhasil, bahwasanya hadits-hadits yang menjelaskan berziarah ke kuburan Nabi Saw memiliki banyak jalur periwayatan yang sebagian menguatkan sebagian yang lain sebagaimana dikutip oleh Al Munawi dari Al Hafidh Adz Dzahabi dalam Faidl Al Qadir vol VI hlm 140 secara khusus, dan bahwa sebagian ulama telah menilai shahih hadits-hadits tersebut atau mengutip penilaian shahihnya seperti Al Subki, Ibnu Al Sakkan, Al ‘Iraqi, Al Qadli ‘Iyadl dalam Al Syifaa, Al Mula ‘Ali Al Qari dalam syarh Al Syifaa dan Al Khafaji juga dalam syarh Al Syifaa pada Nasiim Al Ryadli vol III hlm 511. Semua nama yang telah disebutkan ini adalah para huffadhul hadits dan aimmah yang dijadikan acuan. Cukuplah bahwa para imam empat dan para ulama besar yang menjadi pilar agama telah menyatakan disyari’atkannya ziarah kepada Nabi Saw sebagaimana dikutip oleh murid-murid mereka dalam literatur-literatur fiqh mereka yang dijadikan acuan. Kesepakatan para imam dan para ulama besar ini cukup untuk menilai shahih dan menerima hadits-hadits yang menjelaskan ziarah. Karena hadits dlo’if bisa menjadi kuat dengan praktik dan fatwa sebagaimana dikenal dalam kaidah-kaidah pakar ushul fiqih dan pakar hadits.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Peringatan Haul KH. Abdul Fattah Hasyim Ke 36 & Ny. Hj. Musyarrofah Bisri Ke 4, Pertemuan Alumni Besuk Pada Hari Kamis, 21 Maret 2013