Selasa, 19 Juli 2011

Aktualisasi Nilai-Nilai Aswaja

AKTUALISASI NILAI-NILAI ASWAJA
Oleh: DR. KHMA. Sahal Mahfudz

ASWAJA atau Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah sebagai paham keagamaan, mempunyai pengalaman tersendiri dalam sejarah Islam. Ia sering dikonotasikan sebagai ajaran (mazhab) dalam Islam yang berkaitan dengan konsep 'aqidah, syari'ah dan tasawuf dengan corak moderat. Salah satu ciri intrinsik paham ini -sebagai identitas- ialah keseimbangan pada dalil naqliyah dan 'aqliyah. Keseimbangan demikian memungkinkan adanya sikap akomodatif atas perubahan-perubahan yang berkembang dalam masyarakat, sepanjang tidak bertentangan secara prinsipil dengan nash-nash formal.

Ekstrimitas penggunaan rasio tanpa terikat pada pertimbangan naqliyah, tidak dikenal dalam paham ini. Akan tetapi ia juga tidak secara apriori menggunakan norma naqliyah tanpa interpretasi rasional dan kontekstual, atas dasar kemaslahatan atau kemafsadahan yang dipertimbangkan secara matang.

Fleksibilitas Aswaja juga tampak dalam konsep 'ibadah. Konsep ibadah menurut Aswaja, baik yang individual maupun sosial tidak semuanya bersifat muqoyadah -terikat oleh syarat dan rukun serta ketentuan lain- tapi ada dan bahkan lebih banyak yang bersifat bebas (mutlaqoh) tanpa ketentuan-ketentuan yang mengikat. Sehingga teknik pelaksanaannya dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi perkembangan rnasyarakat yang selalu berubah.

Demikian sifat-sifat fleksibilitas itu membentuk sikap para ulamanya. Karakter para ulama Aswaja menunut Imam Ghazali menunjukkan bahwa mereka mempunyai ciri faqih fi mashalih al-khalqi fi al-dunya. Artinya mereka faham benar dan peka terhadap kemaslahatan makhluk di dunia. Pada gilirannya mereka mampu mengambil kebijakan dan bersikap dalam lingkup kemaslahatan. Dan karena kemaslahatan itu sering berubah, maka sikap dan kebijakan itu menjadi zamani (kontekstual) dan fleksibel.

Aswaja juga meyakini hidup dan kehidupan manusia sebagai takdir Allah. Takdir dalam arti ukuran-ukuran yang telah ditetapkan, Allah meletakkan hidup dan kehidupan manusia dalam suatu proses. Suatu rentetan keberadaan, suatu urutan kejadian, dan tahapan-tahapan kesempatan yang di berikan-Nya kepada manusia untuk berikhtiar melestarikan dan memberi makna bagi kehidupan masing-masing.

Dalam proses tersebut, kehidupan manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor dan aspek yang walaupun dapat dibedakan, namun saling kait-mengait. Di sini manusia dituntut untuk mengendalikan dan mengarahkan aspek-aspek tersebut untuk mencapai kelestarian sekaligus menemukan makna hidupnya.

Sedang dalam berikhtiar mencapai kelestarian dan makna hidup itu, Islam Aswaja merupakan jalan hidup yang menyeluruh, menyangkut segala aspek kehidupan manusia sebagai makhluk individual mau pun sosial dalam berbagai komunitas bermasyarakat dan berbangsa. Aktualisasi Islam Aswaja berarti konsep pendekatan masalah-masalah sosial dan pemecahan legitimasinya secara Islami, yang pada gilirannya Islam Aswaja menjadi sebuah komponen yang mernbentuk dan mengisi kehidupan masyarakat, bukan malah menjadi faktor tandingan yang disintegratif terhadap kehidupan.

***

DALAM konteks pembangunan nasional, perbincangan mengenai aktualisasi Aswaja menjadi relevan, justru karena arah pelaksaan pembangunan tidak lepas dari upaya membangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Ini berarti bahwa ia tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah (sandang, pangan, papan) semata, atau (sebaliknya) hanya membangun kepuasan batiniah saja, melainkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara keduanya.

Pandangan yang mengidentifikasikan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi belaka atau dengan berdirinya industri-industri raksasa yang memakai teknologi tinggi semata, cenderung mengabaikan keterlibatan Islam dalam proses pembangunan. Pada gilirannya sikap itu menumbuhkan perilaku individualistis dan materialistis yang sangat bertentangan dengan falsafah bangsa kita.

Proses pembangunan dengan tahapan pelita demi pelita telah mengubah pandangan masyarakat tradisional berangsur-angsur secara persuasif meninggalkan tradisi-tradisi yang membelenggu dinnya, kemudian mencari bentuk-bentuk lain yang membebaskan dirinya dari himpitan yang terus berkembang dan beragam. Dari satu sisi, ada perkembangan positif, bahwa masyarakat terbebas dari jeratan tradisi yang mengekang dari kekuatan feodalisme. Namun dari segi lain, sebenarnya pembangunan sekarang ini menggiring kepada jeratan baru, yaitu jeratan birokrasi, jeratan industri dan kapitalisme yang masih sangat asing bagi masyarakat.

Konsekuensi lebih lanjut adalah, nilai-nilai tradisional digeser oleh nilai-nilai baru yang serba ekonomis. Pertimbangan pertama dalam aktivitas manusia, diletakkan pada "untung-rugi" secara materiil. Ini nampaknya sudah menjadi norma sosial dalam struktur masyarakat produk pembangunan. Perbenturan dengan nilai-nilai Islami, dengan demikian tidak terhindarkan Secara berangsur-angsur etos ikhtiar menggeser etos tawakal, mengabaikan keseimbangan antara keduanya.

Konsep pembangunan manusia seutuhnya yang menuntut keseimbangan menjadi terganggu, akibat perbenturan nilai itu. Karena itu pembangunan masyarakat model apa pun yang dipilih, yang tentu saja merupakan proses pembentukan atau peningkatan -atau paling tidak menjanjikan- kualitas masyarakat yang tentu akan melibatkan totalitas manusia, bagaimana pun harus ditempatkan di tengah-tengah pertimbangan etis yang berakar pada keyakinan mendasar, bahwa manusia -sebagai individu dan kelompok- terpanggil untuk mempertanggungjawabkan segala amal dan ikhtiarnya kepada Allah, pemerintah dan masyarakat lingkungan sesuai dengan ajaran dan petunjuk Islam.

Manusia yang hidup dalam kondisi seperti terurai di atas dituntut agar kehidupannya bermakna. Ia sebagai khalifah Allah di atas bumi ini justru mempunyai fungsi ganda, pertama 'ibadatullah yang kedua 'imaratu al-ardl. Dua fungsi yang dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Bahkan fungsi yang kedua sangat rnempengaruhi kualitas fungsi yang pertama dalam rangka rnencapai tujuan hidup yakni sa'adatud darain. Makna hidup manusia akan tergantung pada kemampuan melakukan fungsinya sesuai dengan perkembangan kehidupan yang selalu berubah seiring dengan transformasi kultural yang menuntut pengendalian orientasi dan tata nilai yang Islami.

Dalam konteks ini, Aswaja harus mampu mendorong pengikutnya dan umat pada umumnya agar mampu bergaul dengan sesamanya dan alam sekitarnya untuk saling memanusiawikan. Aswaja juga harus menggugah kesadaran umat terhadap ketidakberdayaan, keterbelakangan serta kelemahan mereka yang merupakan akibat dari suatu keadaan dan peristiwa kemanusiaan yang dibuat atau dibentuk oleh manusia yang sudah barang tentu dapat diatasi oleh manusia pula.

Tentu saja, penumbuhan kesadaran tersebut masih dalam konteks melaksanakan ajaran Islam Aswaja, agar mereka tidak kehilangan nilai-nilai Islami. Justru malah potensi ajaran Islam Aswaja dikembangkan secara aplikatif ke dalam proses pengembangan masyarakat. Pada gilirannya pembangunan manusia seutuhnya akan dapat dicapai melalui ajaran Islam Aswaja yang kontekstual di tengah-tengah keragaman komunitas nasional.

Untuk melakukan pembangunan masyarakat sekarang mau pun esok, pendekatan yang paling tepat adalah yang langsung mempunyai implikasi dengan kebutuhan dari aspek-aspek kehidupan. Karena dengan demikian masyarakat terutama di pedesaan akan bersikap tanggap secara positif.

Kondisi dinamis sebagai kesadaran yang muncul, merupakan kesadaran masyarakat dalam transisi yang perlu diarahkan pada pemecahan masalah, pada gilirannya mereka di sarnping menyadari tema-tema zamannya juga menumbuhkan kesadaran kritis. Kesadaran ini akan meningkatkan kreativitas, menambah ketajaman menafsirkan masalah dan sekaligus menghindari distorsi dalam memahami masalah itu. Kesadaran kritis ini memungkinkan masyarakat memahami faktor-faktor yang melingkupi aktivitasnya dan kemudian mampu melibatkan diri atas hal-hal yang membentuk masa depannya.

***

KEBUTUHAN akan rumusan konsep aktualisasi Islam Aswaja, menjadi amat penting adanya. Konsep itu akan menyambung kesenjangan yang terjadi selama ini, antara aspirasi keagamaan Islam dan kenyataan ada. Suatu kesenjangan yang sangat tidak menguntungkan bagi kaum muslimin dalam proses pembangunan masyarakat, yang cenderung maju atas dorongan inspirasi kebutuhan hidup dari dimensi biologis semata.

Merumus kan konsep-konsep yang dimaksud, memang tidak semudah diucapkan. Identifikasi masalah-masalah sosial secara general dan spesifik masih sulit diupayakan, sehingga konsep aktualisasi secara utuh pun tidak mudah diformulasikan. Akan tetapi secara sektoral aktualisasi itu dapat dikonseptualisasikan secara jelas dalam konteks pendekatan masalah yang dilembagakan secara sistematis, terencana dan terarah sesuai dengan strategi yang ingin dicapai.

Kemampuan melihat masalah, sekaligus kemampuan menggali ajaran Islam Aswaja yang langsung atau tidak langsung bisa diaktualisasikan dalam bentuk kegiatan implementatif yang dilembagakan, menjadi penting. Masalah yang sering disinggung oleh berbagai pihak dan menarik perhatian adalah keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan yang ada pada garis lingkarbalik (daur). Rumusan Khittah 26 pasal ke-6 juga menyinggung keprihatinan NU atas manusia yang terjerat oleh tiga masalah itu.

Aktualisasi Islam Aswaja dalam hal ini menurut rumusan yang jelas, adalah sebagai konsep motivator untuk menumbubsuburkan kesadaran kritis dan membangkitkan kembali solidaritas sosial di kalangan umat yang kini cenderung melemah akibat perubahan nilai yang terjadi.

Dari sisi lain, ada yang menarik dari konsep Aswaja mengenai upaya penanggulangan kemiskinan. Konsep ini sangat potensial, namun jarang disinggung, bahkan hampir-hampir dilupakan. Yaitu bahwa orang muslim yang mampu berkewajiban menakahi kaum fakir miskin, bila tidak ada baitul mal al muntadzim. Konsep ini mungkin perlu dilembagakan. Dan masih banyak lagi konsep-konsep ibadah sosial dalam Islam Aswaja yang mungkin dilembagakan sebagai aktualisasinya.

Ajaran Islam Aswaja bukan saja sebagai sumber nilai etis dan manusiawi yang bisa diintegrasikan dalam pembangunan masyarakat, namun ia secara multi dimensional sarat juga dengan norma keselarasan dan keseimbangan, sebagaimana yang dituntut oleh pembangunan. Dari dimensi sosial misalnya, Islam Aswaja mempunyai kaitan yang kompleks dengan masalah-masalah sosial. Karena syariat Islam itu sendiri, justru mengatur hubungan antara manusia individu dengan Allah, antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam lingkungannya.

Hubungan yang kedua itu terumuskan dalam prinsip mu’amalah yang bila dijabarkan mampu membongkar kelemahan sekaligus memberi solusi bagi paham kapitalisme dan sosialisme. Konsep itu terumuskan dalam prinsip mu’asyarah yang tercermin dalam berbagai dimensi hubungan interaktif dalam struktur sosial yang kemudian dipertegas oleh rumusan Khittah 26 butir empat, tentang sikap kemasyarakatan NU sebagai aktualisasinya.

Tentang hubungan ketiga antara manusia dengan alam lingkungannya terumuskan dalam prinsip kebebasan mengkaji, mengelola dan memanfaatkan alam ini untuk kepentingan manusia dengan tata keseimbangan yang lazim, tanpa sikap ishraf (melampaui batas) dan tentu saja dengan lingkungan maslahah. Dalam pengelolaan dan pemanfaatan alam itu tentu saja berorientasi pada prinsip mu’asyarah maupun mu’amalah yang menyangkut berbagai bentuk kegiatan perekonomian yang berkembang. Berarti diperlukan konsep mu'amalah secara utuh yang mampu mengadaptasikan perkembangan perekonomian dewasa ini sebagai aktualisasi ajaran Islam Aswaja.

مَا يُطْلَب فيْ شَعْبانَ المعَظَّمِ

مَا يُطْلَب فيْ شَعْبانَ المعَظَّمِ

( كنز النجاح والسرور،  ص: 53 – 66 )
للشيخ عبدالحميد محمد علي قدس
المدرس بالمسجد الحرام بمكة

     اعلم – أنّ شعبان المكرّم من الأشهر المعظمة، وهو شهر بركاته مشهورة، وخيراته موفورة، والتوبة فيه من أعظم الغنائم الصالحة، والطاعة فيه من أكبر المتاجر الرابحة، جعله الله تعالى مضمار الزمان، وضَمِن فيه للتائبين الأمانَ، مَنْ عوّد نفسَه فيه بالاجتهاد فازَ في رمضانَ بحُسْن الاعتياد، وهو شهرُ النبيّ صلى الله عليه وسلم، كما ذكرنا في الحديث المار بقوله: {وَشَعْبَانُ شَهْرِيْ}، وشُقّ فيه القمر لرسول الله صلى الله عليه وسلم، كما في "تحفة الإخوان"، فأكثِروا من الصلاة عليه أيها الإخوان في كل الأزمان، خصوصا في شهر نبيكم شعبان، وفي ليلة نصفه تقسم آجال العباد، ويحْكم فيها بالقرب والبعاد.
     قال في "تحفة الإخوان": روي عن عطاء بن يسار رضي الله تعالى عنه قال: "إذا كان ليلةُ النصفِ مِنْ شعبانَ نَسَخ ملَكُ الموتِ عليه الصلاة والسلام كلَّ مَنْ يموْت من شعبانَ إلى شعبانَ، وإنّ الرجلَ لَيَظْلِمُ ويَفْجُر ويَنْكِح النِسْوانَ ويَغْرِس الأشجار، وقد نُسِخ اسمهُ من الأحياء إلى الأموات. وما مِنْ ليلةٍ بعد ليلة القدرِ أفضلُ من ليلة النصفِ من شعبانَ". انتهى
     ثم اعلم أن أمر الله تعالى لا يُبَدّل ولا يُغَيَّر بعد إبرازه للملائكة عليه الصلاة والسلام، بخلافه قبْلَ إبرازه وهو في اللوح، فإن الله تعالى يمحوْ منه ما يشاء. وقد رُويت آثار وأحاديثُ أحادية تفيد: أنه يقضى الله تعالى في تلك الليلة المباركة كلَّ أجَلٍ وعمل ورزقٍ إلى مثلها. وفي كثير من الأخبار الاقتصارُ على الآجال. وحكمةُ تخصيص هذه الليلةِ بذلك النَسْخ هو الترغيب والترهيب، فيرْغَب المكلف قبل مجيئها في الخير، ويَرْهب من الشرّ، ويجتهد فيها بالطاعة، عسى الله تعالى أن يكتب في تلك الليلة سعادته، وكذلك يكون حاله بعد مرورها خشية أن يكون كتب فيها من أموات تلك السنة فيستعدّ للقاء الله تعالى. هذا شأن أولى التوفيق.
     وقال في "تحفة الإخوان": قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: {إنّ الله يَغْفِر لجَمِيْع المسلمين في تلك الليلةِ إلاّ لِكاهنٍ أو ساحرٍ أو مُشاحِنٍ أو مُدْمِن خمْرٍ أو عاقٍ لوالديه}، ثم سرد الأحاديث، إلى أن قال: وقد اجتمع من الروايات أن المحجوبين عن المغفرة والرحمة مشركٌ ومُشاحنٌ وعشّارٌ، وقاتلُ نفسٍ وقاطعُ رحِمٍ، ومُسْبِلُ الإزار وزانٍ وشاربٌ وقتّاتٌ، ومصوِّرٌ وعاقٌّ ومضربٌ في التجارات، ومبتدع ورافضي في قلبه شحناء
للصحابة رضي الله تعالى عنهم، فمن تخّلق بشيء من هذه الذنوب فإنه الفوز بالغفران، في ليلة النصف من شعبان، إلا أن يتنصّل من ذنبه، ويتوب إلى ربه، ويُخلص توبته، ويغسل بماء الندم حوبته؛ فحينئذٍ يسلك الله به أقوم طريق، ويدخله في زمرة أولئك الرفيق، {وَمَن يُطِعِ اْللهَ وَرَسُولَهُ . . . . } الآية
     قال: ومن عادة الله تعالى في هذه الليلة: أن يزيد فيها ماء زمزم زيادة ظاهرة. انتهى.
 ويُسن إحياء هذه الليلة؛ روى الأصفهاني في الترغيب عن معاذ ابن جبل قال: قال رسول الله صلى الله تعالى عليه وسلم: ((من أحيا الليالي الخمس وجبت له الجنة: ليلة التروية، وليلة عرفة، وليلة النحر، وليلة الفطر، وليلة النصف من شعبان)).
     قال بعضهم: فضل رجب في العشر الأُوَل؛ لأجل فضل أول ليله منه، وفضل شعبان في العشر الأواسط؛ لأجل ليلة النصف منه، وفضل رمضان في العشر الأخيرة منه؛ لأجل ليلة القدر.
 ثم إن لليلة النصف من شعبان أسماء كثيرة، وكثرة الأسماء تدل على شرف المسمى؛ ذكر الفشني في التحفة معظمها، وذكر عند كل اسم حكمة تسميتها بذلك الاسم، وأعقبه بحديث أو أثر أو نحو ذلك، فأنظرها تَرَ العجب العُجَاب. فمما ذكره من أسمائها: الليلة المباركة، وليلة البراءة، وليلة القسمة والتقدير، وليلة الإجابة، قال: لِمَا روي عن ابن عمر رضي الله تعالى عنهما قال: خمسُ ليالٍ لا يردّ فيهن الدعاء: ليلة الجمعة، وأول ليلة من رجب، وليلة النصف من شعبان، وليلة القدر، وليلتا العيدين – انتهى.
      ويؤيدّه الحديث الذي أخرجه السيوطي المذكور فيما تقدم فيما يطلب في رجب؛ فيستحب الدعاء ليلتها بالأمور المهمة الدنيوية والأخروية، وأهمها المغفرة وسؤال العافية خصوصاً بالأدعية النبوية، قال العلامة السيد الونائي رحمه الله تعالى فيما يتعلق بليلة النصف من شعبان وغيرها كرمضان: مِنْ أَوْلَى ما يدعى به هذه الليلة:
 (اللَّهُمَّ إنك عفوٌّ كريمٌ تحبُّ العفوَ فاعفُ عنِّي، اللَّهُمَّ إني أسألك العفوَ والعافِيةَ والمعَافَاةَ الدَّائمةََ في الدِّينِ وَالدُّنيَا والآخرةِ)؛ لورود ذلك في ليلة القدر، وهذه أفضل الليالي بعدها.
      ومن أوْلى ما يُدعى به أيضاً ما رواه جمعٌ بسندٍ لا بأس به عن أبي بَرْزة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((لما هَبَط آدم إلى الأرض طاف بالبيت أسبوعاً وصلى خلف المقام ركعتين، ثم قال: اللَّهُمَّ إنكَ تعلمُ سرِّي وعلاَنِيتي فَاقْبَلْ معذِرَتي، وتعلم حَاجتي فَأعطني سُؤْلي، وتعلمُ مَا في نفسي فَاغفرْ لي ذَنبي، اللَّهُمَّ إني أسألك إيمَاناً يبَاشِرُ قلبِي، ويقيناَ صَادِقاًََ حَتَّى أَعلمَ أَنهُ لا يصيبني إلاّ ما كتبتَ لي، وَرَضِّني بقضَائِكَ. فأوْحَى الله إليهِ: يَا آدَمُ، إنكَ دَعْوتني بدُعاَءٍ فَاستجبتُ لكَ فيهِ، ولن يدْعوَني بِه أَحدٌ منْ ذُرّيتكَ منْ بعدِكَ إلاّ استجبتُ لهُ ، وغفْرتُ لهُ ذَنْبَهُ، وَفرَّجتُ همَّهُ وغمّه، واْتـَّجرْت لهُ منْ وَرَاءِ كلِّ تاجرٍ، وأَََتتـْْهُ الدُنيَا رَاغِمَة وإنْ كَانَ لا يريدُهَا)). انتهى.
     قلت: وقد جُمع دعاء مأثور مناسب للحال خاصٌ بليلة النصف من شعبان مشهور، يقرؤه المسلمون تلك الليلة الميمونة فرادى وجمعاً في جوامعهم وغيرها، يلقِّنهم أحدهم ذلك الدعاء ، أو يدعو وهم يؤمِّنون، كما هو معلوم.
     وكيفيته: تقرأ أولاً قبل ذلك الدعاء بعد صلاة المغرب (سورة يس) (ثلاثاً)، الأولى بنية طول العمر، والثانية بنية دفع البلاء، والثالثة بنية الاستغناء عن الناس، وكلما تقرأ السورة مرة تقرأ بعدها الدعاء مرة. وهذا هو الدعاء المبارك:
     (بسم الله الرحمن الرحيم، وَصلّى اللهُ عَلَى سيدِنَا محمدٍ وَعَلَى آلهِ وصحبِه وسلّم، اللَّهُمَّ يَا ذَا المنّ ولاَ يُمَنُّ عليهِ، يَا ذا الجلال ِالإكرامِ، يَا ذا الطّوْلِ والإنعَامِ، لاَ إلهَ إلا أنتَ ظهرَ الـَّلاجينَ، وجَارَ المُستَجِيرِينَ، ومأْمنَ الخَائفينَ. اللَّهُمَّ إن كنتَ كَتَبتنِي عندَكَ في أُمِّ الكتَابِ شقيِّاً أوْ محرُوماً أوْ مطرُوداً أوْ مقتَّراً عليَّ في الرّزْقِ فَاْمحُ اللَّهُمَّ بفضلكَ شقاوَتي وحرماني وَطرْدِي وإقْتَارَ رِزْقِي، وأثبتني عندَك في أُمِّ الكتَابِ سعيداً مرْزوقاً موفقاً للخيرَاتِ؛ فإنّكَ قلتَ وقوْلُكَ الحق في كتابك المنزلِ، على لسَانِِ نبيّكَ المرْسلِ: يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ ، إلهي بالتَّجلي الأعظم، في ليلةِ النصف منْ شعبانَ المكرَّمِ ، التي يفرَقُ فيها كلُّ أمرٍ حكيم ويُبرَمْ، أسألك أنْ تكشفَ عنَّا منَ البَلاءِ مَا نعلمُ وما لا نعلم ، ومَا أنتَ بهِ أعلمُ ، إنكَ أنتَ الأعزُّ الأكرَمُ ، وصلّى اللهُ تعالَى على سيدِنا محمدٍ وعَلَى آلهِ وصحبهِ وَسلَّم). انتهى.
     وذكر هذا الدعاء العلامة الشَّرجي رحمه الله تعالى في فوائده، وجعله دعائين؛ فأنظره إن شئت. وقال العلامة الدّيربي في مجرباته: ومن خواص سورة يس كما قال بعضهم أن تقرأها ليلة النصف من شعبان (ثلاث مرات)، الأولى بنية طول العمر، والثانية بنية دفع البلاء، والثالثة بنية الاستغناء عن الناس، ثم تدعو بهذا الدعاء (عشر مرات) يحصل المراد إن شاء الله تعالى، وهو:
     (إلهي جُودُكَ دَلّني عليكَ، وإحسانُك قََرَّبني إليكَ، أَشكو إِليك مَا لاَ يخفَى عليكَ، وأَسأَلكَ مَا لاَ يعسرُ عليكَ؛ إذْ عِلْمكَ بحالي يكفي عن سؤَالي، يا مفرِّج كرْب المكرُوبينَ، فرِّجْ عنِّي مَا أَنا فيهِ، لاَ إلهَ إلاَ أنتَ سبحانكَ إنِّي كنتُ منَ الظَّالمينَ، فاستجبنا له وَنجّيناهُ منَ الغِّم وَكذلكَ نُنْجِي المؤْمنينَ. اللَّهُمَّ يا ذَا المنِّ وَلا يُمَنُّ عليهِ، يَا ذَا الجَلالِ وَالإِكرَامِ، يَا ذَا الطَّولِ وَالإِنعَامِ، لاَ إلهَ إلاّ أنتَ ظَهَرَ اللاجِينَ، وَجَارَ المُستَجِيرِينَ، وَمَأْمنَ الخائفينَ، وَكنزَ الطّّالبينَ. اللَّهُمَّ إن كنت كتبتني عندَكَ في أُمِّ الكتابِ شقياَ أوْ محرُوماً أوْ مطرُوداً، أوْ مقتَّراً عليَّ في الرِّزْقِ؛ فاْمحُ اللَّهُمَّ بِفَضلكَ شقاوَتِي وحِرْمَاني وَطَرْدِي وَإقتارَ رِزقي، وَأثبتني عندَكَ في أُمِّ الكتابِ سعيداً مرْزُوقاً موفقاً للخيرَاتِ، فإِنكَ قلتَ وَقوْلكَ الحقُّ في كتابِكَ المنزلِ، عَلَى لسانِ نبيِّكَ المرْسلِ: يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ . أَسألكَ اللَّهُمَّ بحقِّ التَّجلّي الأعظم، في ليلة النصْفِ منْ شهر شعبانَ المكرَّم، التي يُفْرَق فيها كلُّ أمرٍ وَيُبرَمَ، أن تكشفَ عّنا منَ البلاءِ ما نعلم وما لا نعلم، ومَا أنتَ بهِ أعلمُ، إنكَ أنتَ الأعزُّ الأكرمُ، وَصلى اللهُ تعالَى عَلَى سيدِنَا محمدٍ وَعَلَى آله وَصحبهِ وسلمَ).
     وذكر في سفينة العلوم دعاء نصف شعبان للقطب الرباني، سيدي عبد القادر الجيلاني، قدّس الله سره، ولعله مذكور في غير السفينة من مؤلفاته، وهو:
     (اللَّهُمَّ إذ أطْلَعْتَ ليلةَ النصف منْ شعبان علَى خلقكَ، فَعُدْ علينَا بمنِّكَ وَعتقكَ، وقدِّر لنا منْ فضلكَ واسعَ رزْقكَ، واجعلنَا ممنْ يقومُ لكَ فيهَا ببعضِ حقّكَ. اللَّهُمَّ مَنْ قضيتَ فيهَا بوَفَاتِه فَاقضِ معَ ذَلكَ له رَحمتَكَ، ومنْ قدَّرْتَ طولَ حياتهِ فاْجعلْ له معَ ذَلكَ نعمتكَ، وبلِّغنا مَالاَ تبلُغ الآمالُ إليهِ، يا خيرَ منْ وَقفتِ الأقدَامُ بينَ يدَيهِ يَا ربَّ العَالمينَ، برَحمتكَ يَا أرْحم الرَّاحمِينَ، وَصلّى اللهُ تعالَى عَلَى سيدِنا محمدٍ خيرِ خلقهِ وَعَلَى آَلهِ وَصحبهِ أَجْمَعِينَ)
     ونقل سيدي العلامة السيد حسن الحداد المذكور، في رسالة له دعائين لليلة النصف من شعبان، أحدهما هذا الدعاء المذكور، وزاد عليه بأدعية نفيسة مأثورة، وثانيهما دعاء آخر مطوَّل نفيس جداً، مشتمل على أدعية نبوية، ومناجاة جُنيدية، قال صاحب الرسالة المذكور: دعاء شعبان المشهور، هو دعاء عظيم النفع، فيه فوائد عظيمة وأدعية جليلة، وبعضه قد ورد عن النبي صلى الله تعالى عليه وسلم، وهو يُقرأ ليلة النصف من شعبان، وقَريب المغرب أحسنُ وأوْلى، جمعه سيدنا بركة الوجود، وعمدة المحققين، وحاوي أسرار آبائه الصالحين، العارف بالله، قطب الزمان، السيد الشريف بدر الدين، الشيخ الحسن بن القطب عبد الله بن علوي الحداد، نفع به وبعلومه آمين.
     وهذه طريقته تقرأ أوله (سورة يس (ثلاث مرات)، الأولى بنية طول العمر مع التوفيق للطاعة، الثانية بنية العصمة من الآفات والعاهات ونية سِعَة الرزق، الثالثة لغنى القلب وحُسن الخاتمة. ثم تقرأ الدعاء، وهو هذا:
     (بسمِ اللهِ الرَّحمن الرَّحيم، اللَّهُمَّ يا ذا المَنّ ولا يُمَنُّ عليكَ، يا ذَا الجَلال والإِكرَام، يا ذَا الطَّولِ والإنعام، لا إلهَ إلاّ أنتَ ظَهَرَ اللاجينَ، وجَارَ المستجيرينَ، ومأمنَ الخائفين. اللَّهُمَّ إنْ كنتَ كتبتنِي عندَكَ في أُمِّ الكتابِ شقيّاً أوْ محروماً أوْ مقتَّراً عَلَيَّ في الرِّزْقِ فامح منْ أُمِّ الكتابِ شقاوتي وحرْماني وتقتير رِزْقي، وأثبتني عندَكَ سعيداً مرْزُوقاً موفقاً للخيرَاتِ، فإنكَ قلتَ وقوْلكَ الحقُّ في كِتابكَ المنزَل، عَلَى نبيكَ المرْسلِ يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ ، إلهي بالتجلِّي الأعظم، في ليلةِ النصفِ من شَعْبَانَ المُكَرَّمِ؛ الَّتي يُفَرقُ فِيهَا كل أمرٍ حَكيمٍ ويُبرَمُ، اكشفْ عني مِنَ البلاءِ مَا أعلمُ ومَا لاَ أعلمُ، واغفرْ لي مَا أنتَ بِهِ أعلمُ. اللَّهُمَّ اجعلني منْ أعظم عبَادكَ حظّاً ونصيباً في كلِّ شَيْءٍ قسمْتَهُ في هذِهِ الليلةِ منْ نورٍ تَهدي بِه، أوْ رَحمةٍ تنشرُها، أو رِزْقٍ تبسطُه، أوْ فضلٍ تقَسمه عَلَى عبَادكَ المؤمنينَ، يَا اللهُ، يا اللهُ، لاَ إلهَ إلاّ أنتَ. اللَّهُمَّ هَبْ لي قلباً تَقيَّاً نَقِيّاً، منَ الشرْكِ برِياً، لاَ كَافراً ولا شقيّاً، وقلباً سليماً خَاشعاً ضَارعاً. اللَّهُمَّ أملأ قلبِي بنورِكَ وأنوَارِ مشاهدَتكَ، وجمالكَ وكمالكَ ومحبتكَ، وعصمتكَ وقدْرتكَ وعلمِك، يَا أرْحمَ الراحمينَ، وصلى الله تعَالَى عَلى سيدِنا محمدٍ وعلَى آلهِ وصحبهِ وسلمَ)، هذَا أقلّهُ.
     وأكملُهُ: (إلهي) تعرَّض إليك في هذِهِ الليلةِ المتعرِّضون، وقصدَك وأمَّلَ معرُوفكَ وفضلكَ الطالبون، ورَغِبَ إلىَ جُودِكَ وكَرَمكَ الرَّاغبونَ، ولكَ في هذِهِ الليلةِ نفحاتٌ، وعطَايا وجوائز ومَواهبُ وهباتٌ، تَمُنُّ بها على منْ تشاءُ منْ عبَادِكَ، وتخصُّ بها منْ أحببتَه من خلقكَ، وتمنع وتحرِمُ منْ لمْ تسبقْ لهُ العنَايةُ منكَ؛ فأسألك يا اللهُ بأَحبِّ الأسماءِ إليكَ، وأكرم الأنبياءِ عليكَ، أن تجعلني ممنْ سبقتْ لهُ منكَ العنايةُ، واجعلني منْ أوفرِ عبادِكَ، وأجزَل خلقكَ حَّظاً ونصيباً وقِسْماً وهِبَةً وعطيةً، في كلِّ خير تقسمهُ في هذِهِ الليلةِ أوْ فيما بعدَهَا، من نور تهدِي به؛ أوْ رحمةٍ تنشرهَا، أو رزْقٍ تبسُطه، أو ضُرٍّ تكشِفُه، أوْ ذَنبٍ تغفرُهُ، أوْ شدَّةٍ تدفعها، أو فتنةٍ تصرفها، أوْ بلاءٍ ترْفعهُ، أو معافاةٍ تَمُنُّ بها، أو عدُوٍّ تكفيهِ، فاكفني كلَّ شرٍّ، ووفقني اللَّهُمَّ لمكَارم الأخلاقِ، وارْزُقني العافيةََ والبركةَ والسَّعةَ في الأرزاقِ، وسلِّمني من الرِّجزِ والشرك والنفاق، (اللَّهُمَّ) إنَّ لك نَسَماتِ لطفٍ إذَا هبَّت على مرِيضِ غفلةٍ شَفَتْه؛ وإنِّ لكَ نفحاتِ عطفٍ إذَا توجَّهَتْ إلى أسيرِ هوىً أطلقتهُ، وإنَّ لكَ عناياتٍ إذَا لاحَظَتْ غريقاً في بحرِ ضلالَةٍ أنقذَتهُ، وإنَّ لَكَ سعاداتٍ إذا أخذَتْ بيدِ شقيٍّ أسعدَتهُ، وإن لكَ لطائفُ كَرَمٍ إذا ضاقتِ الحيلةُ لمذْنبٍ وسِعَته، وإنَّ لكَ فضائل ونعم إذا تحوّلت إلى فاسدٍ أصلَحَته، وإن لك نظراتِ رحمةٍٍ إذا نظرتَ بها إلى غافلٍ أيقظته، فَهَبْ لي اللَّهُمَّ منْ لطفك الخفي نسمةً تشفي مَرَضَ غفلتي، واْنفحني منْ عطفكَ الوفيّ نفحةً طيبةً تُطلق بها أسري منْ وَثاقِ شهوَتي، واْلحظني واحفظني بعين عنايتك ملاحظةً تُنقِذُني بها وتنجني بها منْ بحرِ الضَلالةِ، وآتِني منْ لدُنْكَ رَحمةً في الدُّنْيَا والآخرَةِ، تبدّلُني بهَا سعَادَةً منْ شقَاوةٍ، واْسمعْ دُعائي، وعجّلْ إجَابتي، واْقضِ حَاجتي وعَافني، وهَبْ لي منْ كرَمكَ وجُودِكَ الواسِع مَا ترْزُقني بِهِ الإِنَابَةَ إليك مَع صدْقِ اللّجَاءِ وقبولِ الدُّعَاءِ، وأهِّلني لقرْعِ بَابكَ للدُّعَاءِ يَا جَوادُ؛ حتى يتصلَ قلبي بمَا عندَكَ، وتُبَلّغني بها إلى قَصْدك يا خيرَ مقصود، وأكْرَمَ معْبود. ابْتهالِي وتضرُّعي في طَلبِ معُونتكَ(2)، وأتَّخِذُكَ يَا إلهي مفزَعاً وملجأً، أَرْفعُ إليكَ حَاجتِي ومطالبي وشكوَاي، وأُبدِي إليكَ ضُرِّي، وأُفوّضُ إليكَ أمرِي ومناجَاتي، واْعتمدُ عليكَ في جميعِ أُمورِي وحَالاَتي. (اللَّهُمَّ) إني وهذِهِ الليلَة خلقٌ منْ خلقكَ فَلا تُبلِني فيها ولاَ بَعدَها بسوءٍ ولاَ مكرُوه، ولاَ تقِّدر عَلَيَّ فيهَا معصيةًً ولاَ زَلةً، ولا تُثْْبِتْ عَلَيَّ فيهَا ذَنباً، ولا تُبْلِني فيهَا إلاّ بالتي هيَ أحسنُ، ولاَ تُزَيِّنْ لي جرَاءَةً على محَارِمكَ، ولا ركوناً إلى معصيتكَ، ولا ميلاً إلى مخَالفتكَ، ولا تَرْكاً لطاعتكَ، ولا اْستخفَافاً بحقكَ، ولا شكّاً في رزْقكَ؛ فأَسألكَ (اللَّهُمَّ) نظرَةً منْ نظرَاتكَ ورَحمةً من رَحَماتكَ، وعطيةً منْ عطِيَّاتكَ اللطيفةِ، وارْزُقني منْ فضلكَ، واكفني شرَّ خلقكَ، وأحفظْ عليَّ دِينَ الإسلامِ، وانظرْ إلينا بعينكَ التي لا تنامُ، وآتنا في الدُّنيَا حسنةً وفي الآخرةِ حسنةً وقنا عذَابَ النار (ثلاثاً)، (إلهي) بالتَّجلِّي الأعظم، في ليلةِ النصفِ من شعبانَ الشهرِ الأكرَم، التي يُفـْْرَقُ فيهَا كل أمرٍ حكيمٍ ويُبرَمُ، اكشفْ عنا منَ البلاءِ ما نَعلم ومَا لاَ نعلمُ، واغفرْ لنا مَا أنت بهِ أعلمُ (ثلاثاً)، (اللَّهُمَّ).0 إني أَسألك من خير ما تعلم، وأعوذ بك من شرّ ما تعلم، وأستغفرُكَ منْ كلِّ مَا تعلمُ؛ إنكَ أَنتَ عَّلامُ الغيوبِ، (اللَّهُمَّ) إني أسأَلكَ منْ خيرِ مَا تعلم وما لا أعلمُ، وأستغفرُكَ لِمَا أعلمُ ومَا لا أعلم، (اللَّهُمَّ) إنَّ العلمَ عندَكَ وهوَ عنا محجوبٌ، ولاَ نعلمُ أمراً نختارُهُ لأنفسِنا، وقدْ فوَّضنا إليكَ أُمورَنا، ورَفعنا إليكَ حَاجاتنا، ورَجوناكَ لفاقاتنا وفقرِنا، فأرْشدْنا يَا اللهُ، وثَبِّتنا ووفقنا إلىَ أحبّ الأُمورِ إليكَ، وأحمَدِها لدَيكَ، فإنَّك تحكم بما تشاء وتفعلُ مَا ترِيدُ، وأنتَ علَى كلِّ شَيْءٍ قديرٌ، ولا حَوْلَ ولاَ قوَّةَ إلاّ باللهِ العليِّ العظيم، سبحانَ رَبكَ رَبِّ العزَّةِ عما يصفون، وسَلامٌ عَلَى المرْسلين، والحمدُ للهِ رَب العَالمين، وصلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَى سيدِنَا محمدٍ وعَلَى آلهِ وصحبهِ وسلمَ. انتهى دعاء شعبان.

 =====================
(1) القتات: النمام.
(2) كذا في الأصل.

فائدة
     ذكر بعض الصالحين: أن من قرأ لَّا إلَهَ إِلَّآ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ ليلة النصف من شعبان بعدد حروفها بحساب الجُمّل وهو عدد (2375) خمسة وسبعون وثلاثمائة وألفان؛ فإن تلاوة هذه الآية في هذه الليلة بالعدد المذكور تكون أماناً في ذلك العام من البلايا والأوهام.
     قلت: كيف لا تكون أماناً وقد روى ابن عباس رضي الله تعالى عنهما، عنه عليه الصلاة والسلام أنه قال: ((لقد كان دعاء أخي يونس عجيباً، أوله تهليل، وأوسطه تسبيح، وآخره إقرار بالذنب ((لا إله إلاّ أنت سبحانك إني كنت من الظالمين)) ما دعا به مهموم ولا مغموم ولا مكروب ولا مديون في يوم (ثلاث مرات) إلا استُجِيبَ له)) إلى غير ذلك من الأحاديث المجموعة في "خزينة الأسرار" وغيرها.
فائدة أخرى
     قال الشَّرجي رحمه الله تعالى في فوائده: من قرأ أول سورة الدخان إلى قوله تعالى: اْلْأَوَّلِينَ في أول ليلة من شعبان خمس عشرة مرة إلى ليلة الخامس عشر؛ ويقرؤها ثلاثين مرة، ثم يذكر الله تعالى ويصلي على النبي صلى الله تعالى عليه وسلم، ويدعو بما أحب فإنه يرى تعجيل الإجابة فيها إن شاء الله تعالى.

تنبيه
     يحصل الإحياء والقيام الواردان في الأحاديث بمعظم الليل، وقيل بساعة، وعن ابن عباس رضي الله تعالى عنهما: بصلاة العشاء في جماعة، والعزم على صلاة الصبح في جماعة؛ كما قالوه في ليلة العيدين...، والأولى للإنسان أن يصلي في هذه الليلة صلاة التسابيح التي علَّمها النبي صلى الله عليه وسلم لعمّه العباس رضي الله تعالى عنه ، ولغيره من أقاربه صلى الله تعالى عليه وسلم، وصفتها مذكورة في كتب الفقه فاطلبها، وبالله التوفيق.

Profesionalisme Pengelolaan Zakat

PROFESIONALISME PENGELOLAAN ZAKAT
Oleh: DR. KHMA Sahal Mahfudz

SEBAGAI salah satu rukun Islam, zakat adalah fardlu 'ain dan kewajiban ta'abbudi. Dalam al-Qur’an perintah zakat sama pentingnya dengan perintah shalat. Namun demikian, kenyataannya rukun Islam yang ketiga itu belum berjalan sesuai dengan harapan. Pengelolaan zakat di masyarakat masih memerlukan bimbingan dari segi syari'ah mau pun perkembangan zaman. Pendekatan kepada masyarakat Islam masih memerlukan tuntunan serta metode yang tepat dan mantap.
Orang yang membayar pajak (muzakki) misalnya, masih melaksanakan kewajibannya secara terpencar. Pembagian zakat pun rnasih jauh dari memuaskan. Ini perlu penataan dengan cara melembagakan zakat itu sendiri. Penataan ini tidak hanya terbatas dengan pembentukan panitia zakat saja. Lebih dari itu, penataan hendaknya juga menyangkut aspek manajemen modern yang dapat diandalkan, agar zakat menjadi kekuatan yang bermakna.
Penataan itu menyangkut aspek-aspek pendataan, pengumpulan, penyimpanan, pembagian dan yang menyangkut kualitas manusianya. Lebih dari itu, aspek yang berkaitan dengan syari'ah tak bisa kita lupakan. Ini berarti kita memerlukan organisasi yang kuat dan rapih. Menurut 'kitab kuning', barang-barang yang wajib dizakati adalah emas, perak, simpanan, hasil bumi, binatang ternak, barang dagangan, hasil usaha, rikaz dan hasil laut. Mengenai zakat binatang ternak, barang dagangan dan emas perak, hampir tidak ada perbedaan antara para ulama dan imam mazhab. Sedangkan mengenai zakat hasil bumi, ada beberapa perbedaan di antara mazhab empat.
 Menurut Imam Abu Hanifah, setiap yang tumbuh di bumi, kecuali kayu, bambu, rumput dan tumbuhtumbuhan yang tidak berbuah, wajib dizakati.
 Menurut Imam Malik, semua tumbuhan yang tahan lama dan dibudidayakan manusia wajib dizakati, kecuali buah-buahan yang berbiji seperti buah pir, delima, jambu dan lain-lain.
 Menurut Imam Syafi’i setiap tumbuh-tumbuhan makanan yang menguatkan, tahan lama dan dibudidayakan manusia, wajib dizakati.
 Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, biji-bijian, buah-buahan, rumput yang ditanam wajib dizakati. Begitu pula tumbuhan lain yang mempunyai sifat yang sama dengan tamar, kurma, mismis buah tin dan mengkudu, wajib dizakati.
 Sedangkan untuk hasil bumi seperti tembakau dan cengkih, wajib dizakati apabila diperdagangkan. Dengan demikian, ketentuannya sama dengan zakat tijarah (perdagangan), bukan zakat zira’ah (hasil bumi).
Bagaimana dengan gaji dan penghasilan dari profesi? Menurut Imam Syafi’i, tidak wajib dizakati. Sebab kedua hal tersebut tidak memenuhi syarat haul dan nisab. Tetapi bukankah gaji diberikan tiap bulan? Dengan demikian, gaji setahun yang memenuhi nisab itu hanya memnuhi syarat hak, tidak memenuhi syarat milik. Padahal benda yang wajib dizakati harus merupakan hak milik. Gaji maupun upah jasa lainnya, kalaupun dikenakan zakat, adalah zakat mal, jika memang sudah mencapai nisab dan haul.
Penghasilan dari industri juga wajib dizakati. Ini dikiaskan dengan barang dagangan dan hasil usaha. Sebab tidak ada industri yang tidak diperdagangkan. Sedang uang, asal memenuhi nisab dan haul, menurut Imam Maliki, wajib dizakati. Imam Maliki mengkiaskan uang dengan emas.
Ketentuan-ketentuan barang yang wajib dizakati tersebut, menurut hemat saya, relevan dan bisa diterapkan dalam situasi dan kondisi kita.
***
HAMPIR tidak ada perbedaan pendapat di antara mazhab empat dalam masalah nisab dan haul barangbarang yang wajib dizakati. Misalnya, untuk emas nisabnya 20 dinar dengan zakat 2,5 persen. Begitupun, untuk barang dagangan, bila nilainva mencapai 20 dinar, wajib dizakati 2,5 persen. Emas/perak dan barang dagangan wajib dizakati apabila pemilikannya mencapai 1 tahun (haul).
Untuk hasil bumi tanpa haul. Setiap kali panen harus langsung dizakati. Nisabnya 5 wasak. Tentang binatang ternak, juga sudah ada ketentuannya sendiri.
Dalam masalah nisab dan haul ini, karena ketentuan yang ada sudah demikian rinci, yang perlu kita lakukan adalah mengkonversikannya dengan ketentuanketentuan yang ada di negara kita. Misalnya, satu dinar sama dengan berapa rupiah, satu wasak itu berapa kilogram, dan seterusnya.
Dalam masalah mustahik (yang berhak menerima zakat juga tidak ada perbedaan pendapat. Sebab mustahiq sudah jelas disebutkan dalam surat al-Taubah ayat 60. Mustahiq adalah faqir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah dan ibnu sabil. Para mustahiq tersebut biasa disebut asnaf al-tsamaniyah (delapan kelompok).
Yang masih sering diperdebatkan adalah tentang kategori masing-masing mustahiq, terutama untuk sabilillah..Jumhur ulama berpendapat, sabilillah adalah perang di jalan Allah. Bagian untuk sabilillah diberikan kepada para angkatan perang yang tidak mendapat gaji dari pemerintah. Tetapi menurut Imam Ahmad bin Hanbal, bagian zakat untuk sabilillah bisa ditasharufkan (digunakan) untuk membangun madrasah, masjid, jembatan dan sarana umum lainnya.
Agar zakat berdayaguna dan tepat guna, kita perlu mengambil pengertian “sabilillah" dalam makna yang luas, tidak membatasi pada pengertian berperang saja. Kalau kita sepakat mengambil pengertian yang luas, maka segala hal yang berkaitan dengan maslahat umum termasuk dalam kategori sabilillah.
***
AGAR pelaksanaan pengumpulan dan pentasharrufan zakat bisa berjalan dengan sebaik-baiknya, maka terlebih dahulu harus dilakukan upaya pendataan terhadap muzakki, barang yang wajib dizakati dan mustahiq zakat.
Sering kali keengganan para 'wajib pajak' timbul karena kita main hantam kromo saja. Dengan pendataan yang cermat terhadap muzakki dan harta benda yang dimiliki, diharapkan para wajib zakat tidak enggan lagi meaksanakan kewajibannya. Demikian juga dengan pendataan yang teliti terhadap mustahiq, diharapkan pembagian zakat lebih tepatguna.
Menurut Imam Syafi’i, pengumpulan zakat harus berupa barang yang dizakati itusendiri, kecuali untuk barang dagangan. Artinya, untuk hasil bumi, maka yang ahrus dizakatkan adalah hasil bumi itu sendiri. Pengumpulan zakat tidak bisa diganti dengan uang misalnya, meski senilai barang yang dizakati. Namun untuk barang dagangan, zakat harus berupa uang. Pedagang konveksi misalnya, tidak boleh mengeluarkan zakat dalam bentuk barang-barang konveksi, seperti baju, celana dan lain sebagainya.
Begitu pula pembagiannya harus berupa barang yang dizakati itu sendiri. Zakat hasil bumi harus dibagi berupa hasil bumi. Zakat hewan ternak harus dibagi berupa hewan ternak. Karena pembagiannya harus berupa barang yang dizakati itu sendiri, maka sudah barang tentu, penyimpanannya juga harus berupa barang itu sendiri.
Ditinjau dari segi teknis, hal itu tidak praktis. Sebab sekarang ini barang sebesar apapun bisa dilipat dan dimasukkan dalam kantong, sebab bisa diwijudkan menjadi lembaran-lembaran uang. Bahkan sekarang uang pun bisa diringkas lagi meenjadi cheque (cek). Pengumpulan, penyimpanan dan pembagian yang mensyaratkan barang yang dizakati itu sendiri tidak praktis ditinjau dari segi waktu, tenaga dan tempat yang dibutuhkan untuk keperluan itu.
Tentang petugas pengumpul dan pembagi zakat biasanya disebut ‘amil. Hal ini sesungguhnya salah kaprah. Yang disebut dengan amil, sebgaimana dalam masyarakat kita, sesungguhnya baru panitia zakat. Sedangkan amil seharusnya diangkat oleh pemerintah, yang boleh mengambil bagian zakat. Organisasi sosial keagamaan, atau institusi apapun, tidak berhak membentuk amil zakat.
Menurut ketentuan fiqih, jika pemerintah (imam) mengumpulkan zakat, ia bebas menyerahkan hasil pengumpulan kepada mustahiq dalam bentuk apapun, baik berupa modal mau pun alat-alat kerja.
Pemabagian zakat, menurut Imam Syafi’i, harus di antara delapan asnaf. Tapi menurut qaul yang lain, zakat boleh diberikan kepada mustahiq tertentu saja.
***
PENGELOLAAN zakat secara profesional memerlukan tenaga yang terampil, menguasi masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, penuh dedikasi, jujur dan amanah. Tidak bisa kita bayangkan bila pengelola zakat tidak menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, seperti soal muzakki, nisab, haul dan mustahiq zakat. Begitu pula sulit dibayangkan apabila pengelola zakat tidak penuh dedikasi, bekerja lillahi ta’ala. Banyak ekseakan terjadi.
Lebih-lebih bila pengelola zakat tidak jujur dan amanah. Kemungkinan yang akan terjadi adalah zakat tidak sampai kepada mustahiq, dan mungkin pula hanya dipakai untuk kepentingan pribadi saja.
Oleh karena itu, tenaga yang terampil, menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, jujur dan amanah sangat dibutuhkan dalam sistem pengelolaan zakat yang profesional.
Zakat adalah ibadah sosial yang formal, terikat oleh syarat dan rukun tertentu. Dalam upaya pembentukan dana, sesungguhnya zakat tidak sendirian. Jika keperluannya ialah penyantunan fakir miskin, sesungguhnya fiqih telah menetapkan kewajiban lain atas hartawan muslim untuk menyantuni mereka. Kewajiban ini jika dikembangkan justru merupakan potensi lebih besar ketimbang zakat.
Kewajiban itu adalah memberikan nafaqah (nafkah). Menurut ketentuan fiqih, bila tidak ada baitul mal, maka wajib bagi para hartawan untuk memberi nafkah kepada fakir miskin. Nafaqah berbeda dengan shadaqah, sebab shadaqah adalah ibadah sunnah, sedangkan nafaqah bersifat wajib.
Shadaqah juga bisa dijadikan alternatif pemecahan masalah sosial. Sebab, seperti juga nafaqah, shadaqah tidak terikat ketentuan nisab dan haul, sebagaimana zakat. Orang boleh saja bershadaqah kapan saja dan berapa saja.
Sebagai alternatif, nafaqah dan shadaqah banyak memberikan kemungkinan. Lebih-lebih bila diingat, di negara kita tidak ada baitul mal. Maka nafaqah sebagai ibadah wajib, perlu digalakkan pelaksanaannya. Demikian juga untuk pengembangan dan pembangunan masyarakat kita perlu menghimpun dana melalui shadaqah.

Dakwah Untuk Kaum Dlu'afa

DAKWAH UNTUK KAUM DLU'AFA
Oleh: DR. KHMA Sahal Mahfudz

DALAM mengatasi kemiskinan, dakwah setidaknya bisa ditempuh melalui dua jalan. Pertama, memberi motivasi kepada kaum muslimin yang mampu untuk menumbuhkan solidaritas sosial. Akhir-akhir ini, di kalangan umat Islam, ada kecenderungan solidaritas sosial menurun. Kedua, yang paling mendasar dan mendesak adalah dakwah dalam bentuk aksi-aksi nyata dan program-program yang langsung menyentuh kebutahan. Ini sering disebut orang dengan dakwah bil hal.
Dakwah dalam bentuk yang kedua ini, sebenarnya sudah banyak dilaksanakan kelompok-kelompok Islam, namun masih sporadis dan tidak dilembagakan, sehingga menimbulkan efek kurang baik, misalnya dalam mengumpulkan dan membagikan zakat. Akibatnya lalu, fakir miskin yang menerima zakat cenderung menjadi orang yang thama' (dependen). Itu hanya karena teknis pembagian zakat yang tidak dikelola dengan baik. Dalam hal ini ada beberapa pesantren yang sudah mencoba melembagakan atau mengatasi masalah itu.
Pendekatan untuk mengatasi masalah kemiskinan ini seperti disebutkan di atas adalah pendekatan basic need approach (pendekatan kebutuhan dasar). Tentu saja dalam hal ini tidak bisa dilaksanakan dengan menggeneralisasi. Kita harus membagi masyarakat miskin menjadi beberapa kelompok dengan melihat kenyataan yang berkembang dalam lingkungan masyarakat miskin itu sendiri. Apa kekurangan mereka? Apa yang menyebabkan mereka miskin? Bisa jadi mereka miskin karena kebodohan atau keterbelakangan. Dalam hal ini kita harus berusaha agar mereka dapat maju, tidak bodoh lagi. Bisa juga karena kurangnya sarana, sehingga mereka menjadi miskin atau bodoh. Untuk mengatasinya, adalah dengan cara melengkapi sarana tersebut.
Karena gerakan yang sporadis dan tidak dikelola dengan baik, akhirnya fakir miskin cenderung menjadi orang thama’. Maksud saya, pengembangan masyarakat miskin tidak begitu caranya. Kita jangan memberi ‘ikan’ terus menerus, tapi harus memberi kailnya. Tetapi dengan memberi kail saja tentu tidak cukup, karena mereka juga harus diberitahu, cara mengail yang baik, lahan yang baik dan bagaimana ia dapat menggunakan kail untuk mendapatkan ikan.
Berarti mereka tidak hanya cukup dengan diberi modal, tetapi mereka juga harus diberi keterampilan. Inilah yang saya maksudkan dengan pendekatan itu. Masalah yang dihadapinya, keterbelakangan atau kebodohan harus diatasi dengan memberikan keterampilan, dan baru kemudian modal. Ini juga belum bisa meyakinkan sepenuhnya, sepanjang belum ada uji coba.
Kadang-kadang, masyarakat miskin di kampung lebih menyukai hal yang paling praktis, maunya mencukupi tapi juga mudah dan praktis. Untuk itu di samping kita memberi keterampilan dan modal, kita harus meyakinkan atau memberikan motivasi hingga fakir miskin itu memiliki kemauan berusaha dan tidak hanya menanti dan boros.
***
MENURUT pandangan Islam, secara formal zakat yang diberikan langsung oleh muzakki (pembayar zakat), idak melalui imam yang dalam hal ini adalah pemerintah, harus dibayarkan dalam bentuk harta zakat itu, tidak boleh ditukar dengan bentuk yang lain. Zakat langsung harus dalarn bentuk mal. Dan harta itu bisa dijadikan modal.
Sebaliknya menurut apa yang saya ketahui dari petunjuk-petunjuk dalam fiqih, zakat yang dikelola pemerintah justru dibayarkan bukan dalam bentuk uang. Kalau si mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) punya keterampilan menjahit, maka berilah mesin jahit. Kalau keterampilannya hanya mampu mengemudikan becak, berilah becak. Tetapi itu sebenarnya bisa diatur. Saya sudah mencobanya.
Ada tiga desa yang saya coba dengan memberikan motivasi kepada masyarakat desa itu. Kemudian, zakat di desa itu dilembagakan. Salah satu di antaranya dilembagakan dalam bentuk koperasi. Panitia (bukan amil) bertugas hanya sekadar rnengumpulkan zakat dan mengatur pembagiannya. Hasilnya tidak langsung dibagikan dalam bentuk uang, tetapi diatur demikian rupa supaya tidak bertentangan dengan agama. Mustahiq diserahi zakat berupa uang, tetapi kemudian ditarik kembali sebagai tabungannya untuk keperluan pengumpulan modal.
Dengan cara ini, mereka menciptakan pekerjaan dengan modal yang dikumpulkan dari harta zakat. Ternyata berhasil. Meskipun kita tidak bisa melenyapkan atau menghapuskan kemiskinan sama sekali, paling tidak kita telah berhasil menguranginya.
Pernah suatu kali, saya mencobanya terhadap seorang pengemudi becak di kota Pati. Saya lihat dia memang tekun mangkal di pasar untuk bekerja sebagai tukang becak. Pada saat kesempatan pembagian zakat tiba, saya zakati dia. Hasil zakat bulan Syawal itu, berupa zakat mal, zakat fitrah dan infaq, dikumpulkan dan saya salurkan dengan membelikan untuknya, sebuah becak. Sebelumnya dia hanya pengemudi becak milik orang non-pribumi. Namun sekarang dia telah memiliki dua buah becak.
Usahanya ini berkembang, dan sehari-harinya ia tidak harus mengemudikan becak dengan mengejar target setoran. Dengan mengemudikan becak hingga jam tiga sore, hasilnya sudah cukup untuk makan dan menjaga kesehatan. Setelah itu ia bisa kumpul-kumpul mengikuti pengajian. Dengan cara ini, meskipun dia tidak rnenjadi kaya, tetapi jelas ada perubahan sosial.
Untuk lebih jelasnya, apa yang saya kembangkan di tiga desa itu adalah sebagai berikut. Zakat dari pihak muzakki diberikan kepada panitia, yang kebetulan salah seorang atau beberapa di antaranya memang ada yang pantas menerima zakat (mustahiq). Pembagiannya diatur sedemikian rupa, sehingga apa yang diterimanya itu dijadikan modal. Kepentingan-kepentingan sosial lainnya, seperti keperluan lembaga, tentu saja juga diberikan bagiannya.
Untuk lebih menyebar luaskan gagasan seperti itu, tentu saja lembaga-lembaga sosial keagamann dapat mengambil peran. Kalau kita berbicara mengenai peran para ulama dalam hal pembangunan dan khususnya dalam mengatasi masalah kemiskinan ini, mereka dapat berperan sebagai inisiator, bisa pula sebagai motivator dan sekaligus bisa menjadi fasilitator, tergantung kemampuan dan kenyataan lingkungan di daerahnya masing-masing.
Dalam hal ini saya tidak membicarakan peranan Majelis Ulama, tetapi ulama. Sedangkan bagi MUI sendiri, menurut hasil Munas ketiga, masalah itu sudah dibicarakan. Keputusan Majelis Ulama menyinggung masalah-masalah yang berkenaan dengan kemiskinan, kebodahan dan sebagainya. Lalu tugas majelis adalah koordinasi di antara ormas-ormas Islam yang mempunyai lapangan dan basis.
Kini, masalahnya adalah bagaimana Majelis Ulama mampu dengan kredibilitas yang dimiliki, mengatasi perbedaan-perbedaan yang berkembang di masing-masing ormas Islam. Tentu saja hal itu tidak sulit dilakukan. Namun, apa yang sebenarnya menjadi masalah, saya sendiri tidak tahu, karena tidak terlibat dalam Majelis Ulama Pusat.
***
SUDAH jelas, bahwa ajaran Islam tidak menghendaki kemiskinan. Berbagai macam komponen ajaran Islam sendiri menunjang pernyataan itu. Namun harus diakui, hingga sekarang masalah itu belum mendapat perhatian serius dari kaum muslimin. Menurut ajaran Islam, memberi nafkah kepada golongan fakir miskin adalah kewajiban kaum muslimin yang mempunyai kemampuan, dan itu memang relatif. Ajaran seperti itu belum pernah disinggung, apalagi dijabarkan, dan bahkan hal itu kurang disadari.
Berkenaan dengan infaq, kalau ada keinginan untuk melembangakannya, kita harus mampu menginventarisasi, paling tidak menyensus ekonomi kaum muslimin. Sehingga, kita mempunyai data, siapa yang disebut mampu dan siapa pula yang tidak mampu. Terhadap yang rnampu, dikenakan kewajiban memberikan nafkah bagi orang yang tidak mampu, sesuai dengan ajaran fiqih. Tetapi hingga sekarang kita tidak mempunyai bait al-mal yang teratur. Bait al-mal-nya saja belum ada, apalagi teratur. Jadi di luar zakat dan sedekah, masih ada kewajiban umat Islam yang mampu, hukumnya wajib bagi orang-orang muslim yang mampu untuk memberi rafkah kepada fakir miskin, dalam keadaan tidak adanya bait al-mal al-muntadhim (yang teratur). Inilah jalan Islam.
Kewajiban zakat itu, persuasif atau tidak, ini juga masalah, karena kecenderungan turunnya solidaritas sosial (takaful al-ijtima'i) di kalangan umat Islam. Tetapi menurut pandangan saya, gagasan yang terakhir ini sangat mungkin dilakukan. Sekarang organisasi-organisasi Islam banyak memiliki ahli dalam bidang penelitian. Kita tinggal menambah dengan baberapa spesialis lainnya yang juga banyak dimiliki umat Islam, bagaimana mengadakan sensus ekonomi dan bagaimana desain ekonomi untuk menentukan si Polan ini miskin dan si Polan itu mampu. Apakah yang mampu sudah memenuhi kewajiban? Apakah dibayarkan langsung atau tiidak? Sekarang sudah saatnya kita membicarkan masalah konsep tersebut.
Kalau kita tetap menginginkan pola ekonomi itu, ini tidak terlepas dari. Undang-undang Dasar dan Pancasila, di mana pasal 33 menyebutkan bahwa ekonomi (melalui koperasi) adalah usaha bersama dan kekeluargaan. Tentu saja perlu dijabarkan dalam bentuk peraturan-peraturan koperasi. Bahwa koperasi harus berkembang, tidak bisa ditolak. Nah sekarang, sebenarnya kita harus terpanggil untuk mempertanyakan konsepnya bagaimana? Bagaimana koperasi menurut Islam?
Belum seorang pun membicarakan konsep koperasi menurut Islam. tetapi sudah 'keburu', lembaga-lembaga Islam mendirikan koperasi, sesuai dengan aturan dari luar. Mereka menggunakan anggaran dasar sedemmian rupa. Tetapi praktek-praktek koperasi yang dijalankan kelompok-kelompok Islam, tidak pernah dipersoalakan apakah sesuai dengan mu'amalah yang harus kita patuhi? Sesuaikah dengan ajaran Islam? Ini belum pernah dijabarkan.
Masalahnya adalah karena kita belum membuat konsep. Saya sendiri belum mempunyai suatu konsep tertulis dan matang, tetapi pikiran-pikiran seperti di atas sudah lama muncul dan saya lontarkan di forum-forum tertentu, terutama di kalangan NU, setelah muktamar (1984). Terkadang dengan terlalu berani saya munculkan di forum-forum Syuriyah NU; Sekarang ini kita perlu mengurangi pembicaraan tentang masalah-masalah yang hanya menjawab halal dan haram! Ini bukan berarti kita tidak menyetujuinya.
Kalau kita sudah menyetujuinya sebagai yang halal, kita juga harus membicarkan pendekatan konseptualnya untuk umat. Kalau haram, kita diharuskan membicarakan bagaimana pemecahannya agar umat tidak menyimpang dari nilai-nilai Islam. Untuk itu perlu konsep. Konsep seperti apa? Kalau kansep itu bersifat individual tentu tidak mungkin diterapkan secara massal, sebelum diterima umum.
Uji coba yang sedang saya kembangkan belum sepenuhnya berupa koperasi. Saya masih membatasinya pada usaha bersama (UB). Sebab, saya telah mencoba membuat proposal untuk mengadakan diskusi mengenai pembangunan koperasi dalam bentuk qiradl. Tetapi hingga sekarang proposal itu belum ada yang setuju, sehingga dengan demikian saya belum bisa menerapkan koperasi sesuai dengan konsep yang sudah matang.
Keinginan saya, kalau ini bisa, hasil diskusi itu bisa dibukukan dan akan bermanfaat bagi anggota rnasyarakat yang membutuhkannya. Sekarang kita harus dapat menyusun konsep-konsep aktual. Masyarakat memang menerima bentuk koperasi. Namun apakah itu syirkah atau qiradl, itu soal lain. Tetapi akan ngawur saja, kalau bekerja tanpa memiliki konsep yang jelas. Kelompok-kelompok cendekiawan muslim dari berbagai sangat dibutuhkan keterlibatannya, karena itu tentu saja tidak bisa dengan biaya dan upaya individual.
Meskinya, gagasan itu tumbuh dari ormas-ormas Islam. Mengharapkan terjadinya pertumbuhan secara alami, akan sulit terjadi. Barangkali dalam hal ini, MUI bekepentingan berperan sebagai inisiator, untuk menumbuhkan gagasan itu dan melemparkannya kepada ormas Islam yang ada. Kalau perlu, bahkan mengeormas tersebut hingga mempunyai gagasan serupa. Kumpulkan cendekiawan-cendekiawan berdasarkan kelompok tertentu. Tetapi pertemuan itu tentu saja tidak berakhir begitu saja. Pertemuan itu harus diakhiri dengan perumusan suatu keputusan yang konseptual dan utuh.
Hasil seminar yang pernah kita lakukan, selalu tidak diikuti dengan implementasi. Hal itu bisa jadi karena konsep seminar berorientasi pada ilmu pengetahuan bukan beroritentasi pada strategi. Kita harus membedakan antara konsep yang berorientasi pada ilmu dan konsep yang berorientasi pada strategi. Namun konsep apapun harus dirumuskan dan implementabel.
Berkenaan dengan gagasan mewujudkan lembaga bait al-mal al-muntadhim, saya berpendapat, lembaga itu adalah wewenang pemerintah. Dalarn hal ini dana yang dapat dijadikan sumber adalah infaq dan shadaqah bisa pula ghanimah (harta rampasan perang). Namun masalah yang akan muncul kemudian adalah masaIah manajemen.
Yang terpenting adalah, soal kesamaan wawasan. Potensi umat Islam secara kuantitatif dan kualitatif dapat mendukung dan mengatasi masalah di atas. Saya melihat kenyataan itu. Di Jawa Tengah, kelompok pengusaha menengah muslim sangat banyak, bahkan ada di antaranya yang dapat dikategorikan sebagai kelompok atas. Jelas mereka mampu, tetapi wawasan dan kecenderungan belum ada titik singgung di antara kita. Titik temu itu perlu diusahakan. Tetapi siapa yang harus memprakarsai?
***
MASALAH kemiskinan sangat terkait dengan masalah lingkungan. Sebelum berbicara soal lingkungan menurut konsepsi Islam, lebih dahulu harus diklasifikasi masalah lingkungan dari segi fisik dan non-fisik. Dari segi non-fisik, ajaran Islam memang tidak menghendaki terjadinya kerusakan. Katakanlah kerusakan moral, tidak dikehendaki Islam.
Saya melihat, kaum muslimin sekarang ini sedang dihadapkan pada tantangan perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi telah mengiring masyarakat dari orientasi pada nilai-nilai Islam kepada orientasi pada nilai-nilai ekonomi. Ini berbahaya. Dewasa ini setiap kegiatan akan diperhitungkan sesuai dengan untung-rugi berdasarkan nilai ekonomi. Perbuatan apa pun dilakukan, tanpa memperhitungkan resikonya terhadap moral masyarakat, tapi didasarkan pada pertimbangan untung rugi secara ekonomi.
Berkenaan dengan lingkungan fisik, kita harus kembali kepada manusia untuk menggunakan dan memanfaatkan apa yang ada di alam ini, disertai upaya melestarikan lingkungan hidup. Sudah baran tentu, kalau manusia tidak memanfaatkannya, itu adalah mubazir dan bisa mencelakakan. Intinya bahwa penggunaan alam harus harus didasarkan pada rnanfaat dan maslahat.
Menurut ajaran Islam, kebutuhan dapat dibagi menjadi; pertama yang bersifa' dlaruri (primer) atau sifat hajji (mendasar) dan kedua yang bersifat sekunder. Manfaat dan maslahat memang sulit diukur, tetapi itu bisa dirasakan dan dilihat. Semuanya harus diarahkan pada kepentingan hidup, kepentingan bersama, kepentingan agama dan lain-lain. Tidak perlu membagi-baginya menurut kepentingan ukhrawi, kepentingan moral atau akhlak, kepentingan dunia dan lain sebagainya, karena tentu saja kepentingan ukhrawi tidak mungkin tanpa adanya kepentingan-kepentingan duniawi.
Selama ini majelis-majelis taklim, nampaknya belum menyentuh masalah-masalah seperti itu, belum menyentuh masalah-masalah riil dalam masyarakat. Masih berkisar pada masalah moral atau akhlak. Namun para ulama, saya kira tidak bisa disalahkan, karena antara ulama dan umara yang berwenang masih sering terjadi miskomunikasi. Masalah yang timbul seharusnya diinformasikan kepada para ulama. Kalau dalam masalah lingkungan, ulama masih bersikap statis, itu 1ebih disebabkan karena ketidaktahuan.
Belum adanya partisipasi mereka dalam hal ini, karena mereka tidak banyak mengelola masalah lingkungan. Itu sebabnya mereka masih terbatas pada masalah-masalah moral. Kalau mereka tahu, tanpa perlu dihirnbau, mereka akan berpartisipasi. Untuk itu komunikasi dan informasi masalah ini perlu digalakkan, karena masalahnya memang terletak di sana.
***
SUDAH jelas, Islam mendorong orang untuk bekerja. Ada hadits yang mengatakan, "Asyaddu al-naas 'azaban yauma al-qiyamah al-maghfiy al-bathil" (Siksaan paling berat pada hari kiamat, adalah bagi orang yang hanya mau dicukupi orang lain dan hidup menganggur). Al-Qur'an juga menyebutkan, "Apabila kamu telah selesai menunaikan shalat Jum'at, menyebarlah untuk mencari rezki Tuhanmu”.
Ada banyak hal yang menyebabkan terjadinya pengangguran. Faktor pendidikan yang rendah, keterampilan kurang memadai, di samping kemampuan untuk menciptakan lapangan kerja terbatas. Anak-anak sekarang hanya menunggu pekerjaan, bukan mencari dan menciptakan pekerjaan. Yang saya maksudkan menunggu pekerjaan, adalah mencari pekerjaan pada lapangan kerja yang sudah mapan dan jelas. Sedangkan mencari kerja, adalah orang tidak hanya terfokus pada satu sasaran pekerjaan, namun berusaha secara kreatif menciptakan lapangan kerja.
Dalam mengatasi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, himbauan saya kepada kelompok muda adalah, jangan cepat putus asa. Sebab dengan putus asa, kreativitas mandeg. Bagaimana kecilnya kreativitas itu, ia akan selalu tumbuh dan berkembang.

Peringatan Haul KH. Abdul Fattah Hasyim Ke 36 & Ny. Hj. Musyarrofah Bisri Ke 4, Pertemuan Alumni Besuk Pada Hari Kamis, 21 Maret 2013