Selasa, 12 Juli 2011

Nuansa Fiqih Sosial

NUANSA FIQIH SOSIAL
Oleh: DR. KHMA. Sahal Mahfudz
HIDUP dan kehidupan rnanusia merupakan takdir Allah. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari segala ketetapan Allah. Takdir telah meletakkan manusia dalam suatu proses, suatu rentetan keberadaan, urutan kejadian, tahapan-tahapan kesempatan yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk berikhtiar mempertahankan serta melestarikan hidup dan kehidupannya. 
Manusia diberi hak hidup bukan untuk hidup semata, tetapi ia diciptakan oleh Allah untuk mengabdi kepadaNya.  Dalam kerangka pengabdian inilah, manusia dibebani berbagai taklif yang erat kaitannya dengan ikhtiar beserta sarana-sarananya dan kemampuan manusia itu sendiri. 
Dalam proses tersebut, kehidupan manusia selalu dipengaruhi berbagai faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Oleh karena itu, manusia di dalam berikhtiar melaksnakan taklif, berkewajiban mengendalikan dan mengarahkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupannya, untuk mencapai makna dan tujuan hidupnya, yakni sa'adatud darain atau kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat kelak. 
Kesejahteraan lahir-batin merupakan cita-cita setiap insan. Kesejahteraan lahiriah, lazimnya merupakan sarana yang mendasar bagi tercapainya kesejahteraan batiniah, meskipun ada juga orang yang memperoleh kesejahteraan batiniyah tanpa mendapat kesejahteraan lahiriyah, menurut ukuran yang lazim. 
Indikator kesejahteraan masyarakat -di rnana keluarga/rumah tangga (usrah) sebagai unit terkecil- memang sulit dirumuskan secara terinci. Namun sekurang-kurangnya ajaran syari'at Islam dengan konsep fiqih sosial telah banyak menunjang sebagai isyarat yang mendekati rumusan tersebut. 
***
SYARI'AT Islam merupakan pengejawantahan dan manifestasi dari aqidah Islamiyah. Aqidah mengajarkan keyakinan akan adanya jaminan hidup dan kehidupan, termasuk kesejahteraan bagi setiap manusia. Jaminan itu pada umumnya mengatur secara terinci cara berikhtiar mengelolanya. Pada prinsipnya tujuan syari'at Islam yang dijabarkan secara terinci oleh para ulama dalam ajaran fiqih (fiqih sosial), ialah penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara. 
Syari'at Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah yang di dalam fiqih sosial menjadi komponen ibadah, baik sosial maupun individual, muqayyadah (terikat oleh syarat dan rukun) mau pun muthlaqah (teknik operasionalnya tidak terilkat oleh syarat dan rukun tertentu). Ia juga mengatur hubungan antara sesama manusia dalarn bentuk mu'asyarah (pergaulan) mau pun mu'amalah (hubungan transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup). Di samping itu ia juga mengatur hubungan dan tata cara berkeluarga, yang dirurnuskan dalam komponen rnunakahah. Untuk menata pergaulan yang menjamin ketenteraman dan keadilan, ia juga punya aturan yang dijabarkan dalam komponen jinayah, jihad, dan qadla'. 
Beberapa komponen fiqih di atas merupakan teknis operasional dari lima tujuan prinsip dalam syari'at Islam (maqashid al-syari'ah), yaitu memelihara -dalam arti luas- agama, akal, jiwa, nasab (keturunan) dan harta benda. Komponen-kornponen itu secara bulat dan terpadu menata bidang-bidang pokok dari kehidupan manusia dalam rangka berikhtiar melaksanakan taklifat untuk mencapai kesejahteraan duniawi dan ukhrawi atau sa'adatud darain sebagai tujuan hidupnya. 
Unsur-unsur kesejahteraan dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, bersifat saling mempengaruhi. Apabila hal itu dikaitkan dengan syari'at Islam yang dijabarkan fiqih sosial dengan bertitik tolak dari lima prinsip dalam maqashid al syari'ah, maka akan jelas, syari'at Is]am mempunyai sasaran yang mendasar, yakni kesejahteraan lahir batin bagi setiap manusia. Berarti, bahwa manusia merupakan sasaran, sekaligus menempati posisi kunci dalam keberhasilan mencapai kesejahteraan dimaksud. 
***
SATU di antara masalah manusia adalah masalah kependudukan. Hampir semua aspek dan faktor kehidupan berkaitan erat dan saling mempengaruhi dengan masalah ini. Masalah kependudukan seperti tingginya laju perkembangan penduduk, persebarannya yang tidak merata dan struktur umur penduduk yang relatif muda, semua berkaitan erat dengan aspek-aspek kependudukan yang cenderung menimbulkan kerawanan sosial serta ketimpangan pada sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi, ketenagakerjaan, keamanan dan keagamaan. Bahkan dari rnasalah kependudukan ini kita bisa menelusuri munculnya kerniskinan struktural, krisis lingkungan dan lain-lain. 
Kuantitas penduduk yang tidak terkendalikan, tidak diimbangi dengan peningkatan sumber daya alam, kemarnpuan dan keterampilan ikhtiar yang memadai, akan mengakibatkan mafsadah umum dari dimensi duniawiah mau pun ukhrawiah, dengan timbulnya perubahan nilai-nilai Islam. 
Kependudukan menjadi masalah karena ada kesenjangan antara tujuan yang ingin dicapai pembangunan manusia seutuhnya dengan keadaan nyata yang dihadapi. Pembangunan merupakan proses perubahan yang secara sadar direncanakan melalui berbagai campur tangan pemerintah dan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri, bahwa kegiatan pembangunan yang selama ini berlangsung telah membawa kemajuan-kemajuan besar dalam kehidupan bangsa. Akan tetapi di samping itu, pembangunan yang semakin kompleks telah menciptakan berbagai permasalahan pula. Permasalahan itu menjadi beragam dan yang paling luas implikasinya adalah masalah kependudukan, karena keterkaitannya yang erat dengan aspek-aspek kehidupan. 
Masalah pendidikan anak misalnya, memerlukan fasilitas dan sarana yang makin luas. Beban orang tua untuk itu makin terasa. Tuntutan kesehatan anak agar jadi manusia produktif, sehat jasmani dan rohani cukup menarik perhatian. Pengetahuan dan pengamalan agama serta akhlak anak cenderung melemah, hingga perlu pengawasan ketat. 
Sumber daya alam semakin surut, sementara pengembangan surnber daya manusia untuk mengelola potensi alam berada dalam posisi persaingan yang sering menimbulkan kesulitan tertentu, seperti problem pengangguran dan ketenagakerjaan yang tidak seimbang, dan penciptaan lapangan kerja yang masih sangat lamban di upayakan. 
Masalah-masalah tersebut mengakibatkan tumbuhnya masalah besar yang cukup memprihatinkan, yaitu perubahan nilai spiritual di kalangan umat Islam sendiri. Berbagai indikator bisa disebukan, misalnya disiplin sosial kurang mendapat kepedulian. Solidaritas sosial cenderung melemah. Kepekaan kaum muslimin lebih banyak tertuju pada hal-hal yang bersifat moralitas individual yang sensitif, namun tumpul pada hal-hal yang bersifat sosial. Bahkan yang makin berkembang adalah nilai ekonomi, ditandai dengan memperhitungkan untung rugi secara material pada hampir semua aktivitas hidup. 
Sederet masalah itu akan menjadi berat dan menimbulkan kesenjangan yang tajam, manakala laju pertambahan penduduk dibiarkan berkembang. Sementara untuk mengatasi masalah-masalah tersebut belum bisa kelar, karena dikejar pertarnbahan penduduk yang relatif lebih cepat, tidak seimbang dengan daya ikhtiar untuk mengatasi masalah kependudukan. 
***
MENGATASI masalah kependudukan yang kompleks, yang merupakan masalah kehidupan yang penting dalam pandangan syari'at Islam, berarti memenuhi tanggung jawab kaum muslimin yang konsekwen atas kewajiban mewujudkan kemaslahatan umum (al-mashalih al-'ammah) sebagaimana dijabarkan dalam fiqih sosial. Hal ini tercermin misalnya dalam bab-bab zakat, fai', amwal dlai'ah dan lain-lain. 
Dalam hal ini, kemaslahatan umum -kurang lebih- adalah kebutahan nyata masyarakat dalam suatu kawasan tertentu untuk menunjang kesejahteraan lahiriahnya. Baik kebutuhan itu berdimensi dlaruriyah atau kebutuhan dasar (basic need) yang menjadi sarana pokok untuk mencapai keselamatan agama, akal pikiran, jiwa raga, nasab (keturunan) dan harta benda, rnau pun kebutahan hajiyah (sekunder) dan kebutahan yang berdimensi tahsiniyah atau pelengkap (suplementer). 
Dalam ikhtiar mengatasi masalah kependudukan yang erat hubungannya dan mempunyai implikasi dengan kesejahteraan masyarakat yang menjadi sasaran syari'at Islam, memang tidak boleh menimbulkan akibat pada hilangnya nilai tawakal dan nilai imani. Bahkan dengan mengaplikasikan syari'at Islam secara aktual dalam konteks upaya mencapai kesejahteraan masyarakat dengan mengatasi masalah-masalah kependudukan, dapat kiranya lebih dikembangkan nilai tawakal dan nilai imani. Pada gilirannya, keseimbangan antara aqidah dan syari'at dapat disadari oleh masyarakat dalam bentuk sikap dan tingkah laku yang rasional dan bertanggungjawab terhadap eratnya hubungan antara keluarga maslahah dengan aspek aspek kehidupan yang meliputi bidang-bidang agama, sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, keamanan dan ketertiban dalam rangka mencapai kesejahteraan lahir dan batin.
***
UNIT terkecil dari struktur masyarakat adalah keluarga (usroh). Keluarga yang unsur pokoknya adalah suami, istri dan anak dengan unsur pelengkapnya yaitu para pembantu rumah tangga (khadam), merupakan kelompok terbatas statusnya, namun karena adanya lingkungan dalam setiap kehidupan dan kawasan pemukiman, maka kehidupan suatu keluarga dengan yang lain akan saling mempengaruhi sebagaimana yang lazim dalam proses perkembangan sosial. Oleh karenanya rnembicarakan kemaslahatan dan kesejahteraannya tidak bisa dipisahkan dari pembahasan tentang masalah kependudukan yang diharapkan bisa diatasi demi kesejahteraan masyarakat menurut pandangan syari'at Islam.
Konsep keluarga yang serba maslahah memang sulit dirumuskan secara pasti dan berlaku bagi setiap keluarga. Kemaslahatan dan kesejahteraan pada prinsipnya bermuara pada pemenuhan kebutuhan. Sedangkan kebutuhan masing masing keluarga relatif berbeda-beda dan bertingkat-tingkat. Sama halnya bahwa pembagian rizki dari Allah juga berbeda dan bertingkat, sebagian diangkat lebih tinggi beberapa derajat di atas yang lain. 
Secara umum syari'at Islam rnenggariskan tanggung jawab setiap anggota keluarga untuk memenuhi kewajiban dalam kaitannya meraih kesejahteraan. Kewajiban orang tua/suami terhadap anak istri misalnya, bukan saja terbatas pada kebutuhan pangan, sandang dan papan. Lebih jauh lagi adalah kebutuhan pendidikan, kesehatan, akhlak dan terutama pengamalan syari'at Islam pun, menjadi tanggung jawab orang tua/suami. Semua aspek tersebut merupakan komponen yang apabila dipadukan secara seimbang dan serasi akan menjadi indikator kesejahterann lahir dan batin. 
Suami dituntut memiliki al ba'ah (kemampuan bersetubuh dan membiayai kebutuhan hidup keluarga) sebagai kunci kesejahteraan yang rnendasar. Ia juga bertanggung jawab terhadap keluarga sebagai qawwam dan terutama bertanggungjawab terhadap anak-anaknya yang merupakan amanat sekaligus sebagai fitnah dan zinah. Sang istri kemudian mengimbangi suami semacam itu dengan sikap dan perilaku yang serba shalihaat, qaninaat dan hafidhaat. Sedangkan anak anaknya bersikap abrar. 
Masing-masing unsur rumah tangga saling memberi dan melaksanakan hak dan kewajibannya. Tentu saja dalam keseimbangan semua faktor tersebut dalam kehidupan keluarga, harus dilengkapi, bahkan didasari adanya ketenteraman (sakinah) dengan penuh kesejahteraan lahir dan batin. 
Tidak kalah pentingnya dalam berupaya mewujudkan keluarga yang penuh maslahah, adalah lingkungan yang sehat. Ini sangat mempengaruhi watak dan karakter anak pada masa pertumbuhannya yang sangat rawan terhadap situasi sosial pada lingkungan pergaulannya. 
Karena tanggung jawab orang tua (suami istri) terhadap anak baik sebagai amanat, fitnah maupun zinah, maka pembiakan anak dalam fiqih sosial/syari'at Islam diatur sedemikian rupa, sehingga dalam berikhtiar mencapai kesejahteraan pun perlu dipertimbangkan keseimbangannya. 
Larangan zina misalnya, ini untuk mengendalikan pembiakan anak secara bebas tanpa adanya tanggung jawab, akibat tidak adanya ikatan melalui lembaga nikah. Tidak semua wanita boleh diperistri oleh setiap lelaki. Wanita mahram dan mushaharah tidak boleh dijadikan zaujah (istri). Poligami sekalipun diperbolehkan, tetapi ada syarat-syarat yang harus dipertanggungjawabkan. Lebih dari itu, menikahi kerabat dekat yang bukan mahram sekalipun boleh, akan tetapi banyak para fuqaha mencegah, karena mengakibatkan anak-anaknya lemah mental dan intelektual. Semua itu menggambarkan adanya kaitan erat antara pembiakan anak dengan tanggung jawab orang tua dari berbagai segi.
Dalam hal siapa yang berhak menentukan anak secara ikhtiari, ada beberapa pendapat ulama. Imam Ghazali berpendapat, anak adalah hak suami sendiri. Suami berhak menentukan punya anak atau tidak, karena ialah orang pertama yang akan bertanggungjawab. Ini berarti memberi kesempatan pembiakan anak untuk menentukan keseimbangannya dengan kebutuhan unsur-unsur kesejahteraan keluarga yang diharapkan penuh maslahah. 
Dari uraian di atas menunjukkan, bahwa pembiakan manusia adalah bagian terpenting dari masalah kependudukan. Hal itu merupakan pangkal dari pertumbuhan penduduk, yang cukup luas menjadi pembahasan dalam syari'at Islam/fiqih.
***
KESEJAHTERAAN lahir batin atau saadatud daaraini merupakan tujuan utama dalam hidup dan kehidupan masyarakat muslim. Orang muslim punyai fungsi utama dan sangat mendasar, yakni 'ibadatullah. Dalam rangka beribadah ini, manusia telah diberi kemampuan ikhtiari untuk melaksanakan berbagai taklifat. Di samping itu, ada jaminan sarana hidup dan kehidupan yang menuntut sumber daya manusia dan budidaya alam, pengelolaan, pengembangan serta pelestariannya. 
Namun dalam berikhtiar —tanpa kehilangan nilai tawakal dan nilai imani- masalah kependudukan, pertambahan penduduk yang tidak seimbang, penyebaran yang tidak merata dan struktur umum yang membedakan, masih menjadi tantangan yang menarik perhatian serius bagi kaum muslim Indonesia, untuk bersama sama dipecahkan dan diatasi demi tercapainya kesejahteraan lahir batin yang dicita-citakan Ini sesuai dengan pandangan syari'at Islam yang diciptakan dalam ajaran fiqih sosial yang mempunyai ruang lingkup cukup luas dalam penataan ihwal manusia dalam hidup dan kehidupannya untuk selamat di dunia yang penuh maslahah, menuju akhirat yang penuh sa'adah nanti. 
Di sinilah peran serta (para ulama sangat penting dan sangat mempengaruhi mulusnya upaya mengatasi masalah tersebut. Ulama yang mempunyai ciri melekat, yakni faqih fi mashalih al-khalqi, akan mampu berperan sebagai motivator dan pemberi inspirasi. Beliau di samping memberikan motivasi keagamaan mau pun sosial, sekaligus mampu mempengaruhi masyarakat untuk menumbuhkan dinamika yang tinggi dalam meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya, di bidang material mau pun spiritual, untuk mencapai keseimbangan antara keduanya. 
Keterlibatan ulama dalam hal ini akan menciptakan kondisi dinamis di kalangan masyarakat lingkungannya, sehingga tumbuh dan berkembang secara kreatif kesadaran berbudidaya secara mandiri untuk selalu meningkatkan kualitas diri dan hidupnya. Kesadaran pendidikan, kesehatan, berdisiplin sosial, solidaritas sosial, keamanan dan utamanya kesadaran melaksanakan syari'at Islarn, akan terwujud sedemikian rupa dalam kordisi dinamis. Demikian itulah masyarakat yang dicita-citakan oleh Khittah NU 1926. 
Pada Mukadimah Khittah NU alinea pertama disebutkan, NU didirikan atas dasar kesadaran dan keinsafan bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi kebutuhannya, bila bersedia untuk hidup bermasyarakat. Dengan bermasyarakat, manusia berusaha mewujudkan kebahagiaan dan menolak bahaya terhadapnya. Selanjutnya pada alinea ketiga berbunyi, NU dengan demikian merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan ikut membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil, berakhlak mulia, tenteram, adil dan sejahtera. 
Sedangkan butir enam tentang ikhtiar yang dilakukan NU, pada huruf (d) berbunyi, peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan yang terarah. Kegiatan-kegiatan yang dipilih pada awal berdiri dan khidmahnya menunjukkan, pandangan dasar yang peka terhadap pentingnya terus-menerus dibina hubungan dan komunikasi antara para ulama sebagai pemimpin masyarakat, serta adanya keprihatinan atas nasib manusia yang terjirat oleh keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan. 
Ungkapan Khittah NU tersebut menunjukkan betapa penting dan perlunya para ulama NU ikut terlibat langsung dalam mengatasi masalah kependudukan. Di .samping karena dorongan ajaran syari'at Islam, hal itu justru berarti melaksanakan dan membudayakan Khitthah 1926 secara konsekuen, sekaligus berikhtiar mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui partisipasi nyata. Dari uraian di atas sampailah pada kesimpulan yang tentu saja masih perlu dipertajam untuk mencapai kesamaan pandangan, wawasan dan sikap, yang kemudian ditindaklanjuti dengan kebersamaan langkah nyata di lapangan, antara ulama NU bersama eksponen organisasi neven NU di satu pihak dengan pemerintah di pihak lain. Kesimpulan itu antara lain sebagai berikut: 
 Bahwa syari'at Islam yang telah dijabarkan oleh fiqih sosial dalam komponen-komponen ibadah, mu'amalah, munakalah, jinayah, jihad dan qadla', merupakan penataan hal ihwal masyarakat untuk mencapai kesejahteraan lahir batin yang penuh maslahah.
 Bahwa oleh karenanya, masalah kependudukan yang mempunyai implikasi luas dengan semua apek kehidupan masyarakat. Terpenuhinya semua kebutuhan rnaterial mau pun spiritual secara seimbang dan memadai, merupakan faktor pokok bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat, adalah menjadi tantangan dan tanggung jawab kaum muslimin di Indonesia dalam rangka mengaplikasikan ajaran syari'at secara kontekstual dan sekaligus merupakan da'wah bil hal. Dalam hal ini unit terkecil dalam struktur masyarakat adalah "keluarga" yang unsur-unsurnya terdiri atas suami, istri dan anak. Untuk itu, memaslahatkan keluarga lahir batin adalah langkah utama dalam mengatasi masalah kependudukan untuk mencapai kesejahteraan.
 Bahwa persamaan persepsi para ulama NU dan peran sertanya dalam rnasalah kependudukan amat penting, bahkan akan menentukan keberhasilannya, sebagai motivator dan sekaligus inspirator yang akan membentuk kondisi dinamis di tengah masyarakat lingkungannya. Pada gilirannya akan tercipta kemandirian yang kreatif dalam meningkatkan kualitas diri dan kehidupan mereka, menuju kesejahteraan yang dicita-citakan. Peran serta ulama NU, di samping atas dorongan ajaran syari'at Islam, sekaligus merealisasi amanat Muktamar NU XVII yang dituangkan dalam rurnusan Khitthah NU 1926.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Peringatan Haul KH. Abdul Fattah Hasyim Ke 36 & Ny. Hj. Musyarrofah Bisri Ke 4, Pertemuan Alumni Besuk Pada Hari Kamis, 21 Maret 2013