Minggu, 29 Mei 2011

Kafirnya Tuduhan Kafir ( 10 )


 ESENSI MENISBATKAN PERBUATAN (TINDAKAN) 
KEPADA PARA HAMBA
Berangkat dari keterkaitan qudrah di atas jelaslah bahwa keterkaitan qudrah tidak hanya dengan terjadinya al-maqdur lewat sifat ini. Hubungan tindakan makhluk dengan mereka sendiri dengan cara mengerjakan bukan penciptaan. Karena Allah yang menciptakan, mentakdirkan dan menghendakinya. Tidak perlu dipersoalkan bagaimana Allah menghendaki apa yang Dia larang, karena perintah berbeda dengan kehendak,  dengan bukti Allah menyuruh semua manusia untuk beriman namun Allah tidak menghendaki semuanya beriman. Hal ini berdasarkan firman Allah  :
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
 "Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman - walaupun kamu sangat menginginkannya." ( Q.S.Yusuf : 103 )
Penisbatan tindakan kepada makhluk masuk kategori penisbatan musabbab ( Obyek yang terkena pengaruh sebab ) kepada sabab ( penyebab ) atau wasithah ( perantara ). Hal ini bukanlah sebuah kontradiksi karena yang menjadi penyebab dari segala sebab adalah pencipta washithah yang menciptakan makna keperantaraan kepada washithah. Seandainya Allah tidak memberi makna keperantaraan terhadap segala sebab maka segala sebab itu tidak layak menjadi washithah, baik sebab yang tidak diberi akal oleh Allah seperti benda mati, cakrawala, hujan dan api atau sebab yang berakal seperti malaikat, manusia, atau jin.

Kafirnya Tuduhan Kafir (09 )

URGENSI MENETAPKAN KAITAN ( NISBAT )  DALAM MENETAPKAN 
BATASAN KUFUR DAN IMAN
Beberapa kelompok sesat hanya menggunakan pendekatan tekstual tanpa melibatkan indikasi-indikasi dan tujuan-tujuan serta tidak menggunakan titik temu (jami') yang bisa menghindari kontradiksi antar dalil-dalil yang ada ,  seperti;
·          kelompok yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dengan menggunakan argumentasi firman Allah   : 
إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا
"Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab." 
( Q.S.Az.Zukhruuf : 3 )
·         kelompok Qadariyyah (free will) yang menggunakan ayat   :
 
"Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri."
( Q.S.As.Syuuraa : 20 )
بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
 "Apa yang telah kamu kerjakan."( Q.S.Yunus : 23 )

·         Kelompok Jabariyah yang berpegang teguh dengan ayat :
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
"Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu."( Q.S.Ash.Shaaffaat : 96 )
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى
"Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar."( Q.S.Al.Anfaal : 17 )

Untuk menyingkap maksud dari firman Allah di muka bahwa sesungguhnya semua kelompok ummat Islam diluar kelompok Qadariyyah meyakini bahwa semua tindakan para hamba adalah diciptakan Allah SWT berdasarkan ayat
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى
meskipun tindakan itu bisa dilekatkan kepada hamba dengan menggunakan pendekatan lain yang disebut iktisab ( bekerja ) seperti dalam firman Allah:
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
"Ia mendapat pahala ( dari kebajikan ) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa ( dari kejahatan ) yang dikerjakannya."
( Q.S.Al.Baqarah : 286 )
dan ayat-ayat lain yang menunjukkan penyandaran kerja kepada hamba. Ta'alluq (Keterkaitan) qudrah dengan almaqdur ( obyek dari sifat qudrah ) tidak harus melalui penciptaan semata karena qudrah Allah pada masa azali berkaitan dengan alam sebelum Allah menciptakannya. Dan qudrah Allah ketika menciptakan alam berkaitan dengan alam dalam corak keterkaitan yang lain.


Kafirnya Tuduhan Kafir ( 08 )


 MAJAZ ‘AQLI DAN PENGGUNAANNYA

 Tidak diragukan lagi bahwa majaz ‘aqli digunakan dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Diantaranya;
1.Firman Alloh  :
وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا
Dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka ( karenanya ).( Q.S.Al.Anfaal : 2 )

Penyandaran kalimat ziyadah (yang artinya bertambah) ke kalimat aayaat adalah majaz ‘aqli. Karena ayat adalah penyebab bertambah ,sedang yang menambah sesungguhnya adalah Allah SWT.
2.Firman Alloh;
يَوْمًا يَجْعَلُ الْوِلْدَانَ شِيبًا
"hari yang menjadikan anak-anak beruban."
( Q.S.Al.Muzzammil :17 )
Penyandaran kata Ja’ala (Menjadikan) pada pada alyaum (hari) adalah majaz ‘aqli. Karena Al-Yaum (hari) adalah tempat mereka menjadi beruban. Kejadian tersebut tercipta pada Al-Yaum ,sedang yang menjadikan beruban sesungguhnya adalah Allah SWT. 
3.Firman Alloh;
وَلا سُوَاعًا وَلا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا وَقَدْ أَضَلُّوا كَثِيرًا
"Dan jangan pula suwwa`, yaghuts, ya`uq dan nasr. Dan sesudahnya mereka menyesatkan kebanyakan ( manusia )."
( Q.S.Nuh : 23-24 )

 Penyandaran lafadz Idlal (menyesatkan)  pada lafadz Ashnam ( berhala) adalah majaz ‘aqli karena ashnam adalah penyebab terjadinya idlal sedang yang memberi petunjuk dan yang menyesatkan hakikatnya Allah SWT semata. 
4.Firman Allah yang mengisahkan Fir’aun  : 
يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا
"Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang Tinggi."
( Q.S.Al-Mu`min : 36 )
Penyandaran Al-Binaa (membuat bangunan)  kepada lafadz Haman adalah majaz ‘aqli karena Haman Cuma penyebab. Ia hanya pemberi perintah tidak membangun sendiri. Yang membangun adalah para pekerja. 
Adapun keberadaaan majaz ‘aqli dalam hadits, maka di dalamnya terdapat jumlah yang banyak yang diketahui oleh orang yang mau mengkajinya.
Para ulama berkata : Terlontarnya penyandaran di atas dari orang yang mengesakan Allah cukup menjadikannya dikategorikan sebagai penyandaran majazi , karena keyakinan yang benar adalah bahwa pencipta para hamba dan tindakan-tindakan mereka adalah Allah semata. Allah adalah pencipta para hamba dan tindakan-tindakan mereka. Tidak ada yang bisa memberikan pengaruh kecuali Allah. Orang hidup atau orang mati tidak bisa memberi pengaruh apapun. Keyakinan semacam ini adalah tauhid yang murni. Berbeda kalau memiliki keyakinan yang berlawanan. Maka ia bisa jatuh dalam kemusyrikan.


Kafirnya Tuduhan Kafir ( 07 )


ASPEK-ASPEK YANG SAMA ANTARA STATUS KHALIQ DAN MAKHLUQ TIDAK BERTENTANGAN DENGAN KESUCIAN ALLAH


Banyak orang keliru dalam memahami sebagian aspek-aspek yang sama antara status Khaliq dan makhluq. Mereka menganggap bahwa menisbatkan aspek-aspek di atas kepada status makhluk adalah menyekutukan Allah. Diantara aspek-aspek di atas adalah seperti sifat-sifat khusus kenabian yang salah dipahami oleh sebagaian orang dan menganalogikannya dengan analogi kemanusiaan. Karena itu mereka menilai terlalu berlebihan bila aspek-aspek tersebut disandarkan kepada Rasulullah. Mereka menilai bahwa menisbatkan aspek-aspek itu kepada Rasulullah berarti mensifati beliau dengan sebagian sifat-sifat ketuhanan.
Pandangan ini adalah sebuah kebodohan murni. Karena Allah SWT bebas memberi siapa saja dan sesuai kehendak-Nya tanpa ada tekanan yang mengharuskan. Tapi semata-mata karunia-Nya kepada orang yang hendak Dia mulyakan, Dia tinggikan derajat dan hendak ditonjolkan kelebihannya atas orang lain. Hal ini bukan berarti melepas hak-hak dan sifat-sifat ketuhanan. Hak-hak sifat-sifat ketuhanan tetap terpelihara sesuai dengan kedudukan Allah SWT. Jika ada makhluk yang memiliki salah satu dari hak atau sifat ketuhanan maka harus disesuaikan dengan kondisi kemanusiaan, yaitu harus terbatasi dan diperoleh lewat izin, anugerah, dan kehendak Allah.
Bukan karena kekuatan makhluk, rencana dan perintahnya. Karena manusia adalah makhluk lemah yang tidak mampu menimpakan bahaya, memberi manfaat, kematian , kehidupan dan kebangkitan dari kubur untuk dirinya sendiri. Banyak hal-hal  yang menunjukkanya sebagai hak Allah, namun Allah SWT memberikannya kepada Nabi SAW dan orang lain.
 Berangkat dari penjelasan di atas, pensifatan Nabi SAW dengan hal-hal di atas tidak meninggikannya sampai ke derajat ketuhanan atau menjadikan beliau ¥sebagai sekutu bagi Allah SWT.

Di antara aspek-aspek di atas adalah :
1.Syafaat
syafaat adalah milik Allah.
Allah berfirman   :
قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا  
Katakanlah: "Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya."
( Q.S.Az.Zumar : 44 )
Namun syafaat juga dimiliki oleh Rasul SAW dan orang lain atas kehendak Allah seperti terdapat dalam sebuah hadits :

أََنَا أَوَّلُ شَافِعٍ وَمُشَفَّعٍ
" Saya adalah orang  pertama yang memberi syafaat dan diterima syafaatnya."

2.Mengetahui hal-hal ghaib
Mengetahui hal-hal ghoib adalah milik Allah.
قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ Katakanlah: "tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah".( Q.S.An.Naml : 65 )

Namun terdapat dalil yang menunjukkan Allah menginformasikan kepada Nabi hal-hal gaib : 

  ( dia adalah Tuhan ) yang mengetahui yang ghaib, Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu . Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya,

3. hidayah
Hidayah adalah khusus milik Allah.
Allah berfirman yang Artinya :
إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.( Q.S.Al.Qashash : 56 )

Tapi terdapat ayat yang menjelaskan bahwa Nabi SAW juga bisa memberi hidayah. Allah berfirman :
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
"Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus."( Q.S.Asy Syuura : 52 )

Hidayah yang terdapat dalam ayat pertama berbeda dengan hidayah dalam ayat kedua. Perbedaan ini hanya dapat dipahami oleh kaum mu’minin yang memiliki kemampuan berfikir yang baik yang mampu membedakan status Khaliq dan makhluk.
Jika pengertian hidayah disamakan niscaya Allah perlu mengatakan "Sesungguhnya engkau memberi hidayah yang berupa bimbingan, atau sesungguhnya engkau memberi hidayah tapi bukan seperti hidayah-Ku. "
Tapi kedua ungkapan ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Malah Allah membiarkan lafadl hidayah tanpa keterangan apapun. Karena orang yang mengesakan Allah dari kaum muslimin bisa memahami kata-kata dan mengerti perbedaan indikasi dari kata-kata tersebut menyangkut apa yang disandarkan kepada Allah dan Rasulullah SAW.
Permasalahan ini sama dengan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an yang memberi sifat Rasul dengan Al-Ra’fah dan Al-Rahmah saat Allah berfirman

 Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.

dan Allah juga mensifati diri-Nya dengan dua sifat di atas dalam banyak ayat.

Sudah umum diketahui bahwa Al-Ra’fah dan Al-Rahmah dalam ayat kedua berbeda arti dengan Al-Ra’fah dan Al-Rahmah dalam ayat pertama. Waktu Allah mensifati Nabi-Nya dengan kedua sifat tersebut Dia mensifatinya tanpa embel-embel apapun. Karena orang yang dikhithabi yang seorang mu’min yang mengesakan Allah mengerti perbedaan antara Khaliq dan makhluk.
Seandainya tidak demikian, Allah perlu mengatakan Ra’uuf dengan ra’fah yang berbeda dengan ra’fah-Ku, dan rahiim dengan rahmat yang berbeda dengan rahmat-Ku, atau mengatakan Ra’uuf dengan rahmat tertentu dan Rahiim dengan rahmat tertentu, atau bisa juga mengatakan Ra’uuf dengan ra’fah kemanusiaan dan rahiim dengan rahmat kemanusiaan.
Namun semua ini ternyata tidak ada. Malah Allah memberi Nabi sifat ra’fah dan rahmat tanpa menambahkan penjelasan apapun.Alloh berfirman;

Kafirnya Tuduhan Kafir ( 06 )

STATUS MAKHLUQ
Kami meyakini bahwa Rasulullah SAW adalah manusia yang bisa mengalami apa yang dialami manusia umumnya seperti sifat-sifat yang temporal dan penyakit-penyakit yang tidak mengurangi kedudukan beliau dan tidak membuat beliau dijauhi. Sebagaimana dikatakan oleh penyusun ‘Aqidatul ‘Awam :
وَ جَائِزٌ فِيْ حَقِّهِمْ مِنْ عَرَضٍ      بِغَيْرِ نَقْصٍ كَخَفِيْفِ الْمَرَضِ
Para rasul boleh mengalami sifat-sifat yang temporer
 yang tidak mengurangi kedudukan mereka seperti sakit yang ringan

Rasulullah juga adalah seorang hamba yang tidak memiliki kemampuan memberi manfaat, bahaya, mati, hidup membangkitkan kepada dirinya sendiri kecuali apa yang telah dikehendaki Allah. Firman Allah  :
قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak ( pula ) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. dan Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman".( Q.S.Al.A`raaf :188 )

Beliau juga telah mengemban risalah, menyampaikan amanah, menyadarkan ummat, membuang kesedihan dan berjihad fi sabilillah sampai ajal menjemputnya. Beliau berpulang ke sisi Allah dalam kondisi ridlo dan mendapat keridloan, seperti digambarkan dalam firman Allah  : 
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ
''Sesungguhnya kamu akan mati dan Sesungguhnya mereka akan mati (pula). '' ( Q.S.Az.Zumar : 30 )
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ
Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelumkamu(Muhammad ); Maka Jikalau kamu mati, Apakah mereka akan kekal ? (Q.S.Al.Anbiyaa` : 34 )

Kehambaan adalah sifat beliau yang paling mulia. Karena itu beliau membanggakannya dan berkata :
“Saya hanyalah seorang hamba”.

Allah menyifati beliau dengan kehambaan dalam kedudukan tertinggi :
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda ( kebesaran ) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. ( Q.S.Al.Israa : 1 )

وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ كَادُوا يَكُونُونَ عَلَيْهِ لِبَدًا
"Dan bahwasanya tatkala hamba Allah ( Muhammad ) berdiri menyembah-Nya ( mengerjakan ibadat ), hampir saja jin-jin itu desak mendesak mengerumuninya."
( Q.S.Al.Jin : 19 )
          Kemanusiaan adalah letak sesungguhnya kemu’jizatan Rasulullah. Beliau adalah manusia dari jenis manusia namun berbeda dengan manusia biasa. Beliau memiliki perbedaan yang tidak mungkin dikejar atau disamakan dengan manusia biasa. Sebagaimana penilaian beliau tentang dirinya
إِنِّيْ لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ إِنِّيْ أَبِيْتُ عِنْدَ رَبِّيْ يُطْعِمُنِيْ وَ يُسْقِيْنِيْ
“Saya tidak sama dengan kalian. Sesungguhnya saya bermalam di sisi Allah diberi kekuatan sebagaimana orang yang makan dan minum”.

Berdasarkan paparan di atas maka jelaslah bahwa status kemanusian beliau wajib disertai dengan sifat-sifat yang membedakannya dengan manusia umumnya yaitu menyebut keistimewaan-keistimewaan beliau yang eksklusif dan sifat-sifat beliau yang terpuji. Perlakuan ini bukan hanya diberikan khusus untuk Nabi Muhammad SAW namun juga berlaku untuk rasul-rasul yang lain agar penilaian kita kepada mereka proporsional. Karena penilaian kepada para rasul semata-mata dipandang dari sisi kemanusiaan saja tanpa penilaian lain adalah pandangan jahiliyah yang musyrik. Dalam Al-Qur’an terdapat banyak dalil mengenai masalah ini. Diantaranya adalah :

- Ucapan kaum Nuh terhadap Nabi Nuh dalam kisah yang diceritakan Allah tentang mereka   :
فَقَالَ الْمَلأ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا نَرَاكَ إِلا بَشَرًا مِثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ  
Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: "Kami tidak melihat kamu, melainkan ( sebagai ) seorang manusia ( biasa ) seperti Kami, dan Kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara Kami yang lekas percaya saja, dan Kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas Kami, bahkan Kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta".(Hud : 27).
- Ucapan kaum Nabi Musa dan Harun terhadap mereka berdua dalam kisah yang diceritakan Allah tentang mereka  : 
فَقَالُوا أَنُؤْمِنُ لِبَشَرَيْنِ مِثْلِنَا وَقَوْمُهُمَا لَنَا عَابِدُونَ 
Dan mereka berkata: "Apakah ( patut ) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), Padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita?" ( Al-Mu’minun : 47 ).

- Ucapan kaum Tsamud kepada Nabi mereka Shalih dalam peristiwa yang diceritakan Allah tentang mereka  :
مَا أَنْتَ إِلا بَشَرٌ مِثْلُنَا فَأْتِ بِآيَةٍ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
 ''Kamu tidak lain melainkan seorang manusia seperti kami; Maka datangkanlah sesuatu mukjizat, jika kamu memang Termasuk orang-orang yang benar".( Asy-Syu’araa’ : 154 ).

- Ucapan Penduduk Aikah kepada Nabi mereka Syu’aib dalam kisah yang diceritakan Allah tentang mereka : ( Asy-Syu’araa; : 185-186 ).
قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مِنَ الْمُسَحَّرِين
Mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari orang-orang yang kena sihir,
وَمَا أَنْتَ إِلا بَشَرٌ مِثْلُنَا وَإِنْ نَظُنُّكَ لَمِنَ الْكَاذِبِين
 Dan kamu tidak lain melainkan seorang manusia seperti Kami, dan Sesungguhnya Kami yakin bahwa kamu benar-benar Termasuk orang-orang yang berdusta.

- Ucapan kaum musyrikin terhadap Nabi Muhammad SAW yang memandang beliau semata-mata sebagai manusia dalam kisah yang diceritakan Allah tentang mereka :

وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الأسْوَاقِ لَوْلا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيرًا

Dan mereka berkata: "Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar ? mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang Malaikat agar Malaikat itu memberikan peringatan bersama- sama dengan dia? ( Q.S.Al.Furqaan : 7 )

Nabi telah menginformasikan status dirinya dengan benar akan sifat-sifat luhur dan hal-hal yang melampauai kebiasaan yang membuatnya berbeda dengan manusia lain. 

- Sabda beliau dalam sebuah hadits shahih : 

تَنَامُ عَيْنَايَ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِيْ
“Kedua mataku terpejam namun hatiku tetap terjaga”.
-Dalam hadits shohih yang lain;
-
إِنِّيْ أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِيْ كَمَا أَرَاكُمْ مِنْ أَمَامِيْ
Saya mampu melihat kalian dari belakangku sebagaimana melihatmu dari depan”.

- أُوْتِيْتُ مَفَاتِيْحَ خَزَائِنِ اْلأَرْضِ  

“Saya dianugerahi pintu-pintu gudang dunia”.

Meskipun telah wafat, Rasulullah tetap hidup dalam bentuk kehidupan barzakh yang sempurna. Beliau mampu mendengar perkataan, membalas salam dan shalawat orang yang bershalawat sampai kepada beliau. Amal perbuatan ummat disampaikan kepada beliau hingga beliau berbahagia atas perbuatan orang-orang yang baik dan beristighfar terhadap orang-orang yang melakukan dosa. Allah juga mengharamkan bumi untuk memakan jasadnya. Jasad Nabi terlindungi dari hal-hal yang bersifat merusak dan dari apapun yang berada dalam tanah. 

Dari Aus ibn Aus R.A , ia berkata , “Rasulullah SAW bersabda :
 
  مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمُ الْجُمْعَةِ : فِيْهِ خُلِقَ آدَمُ , وَفِيْهِ قُبِضَ , وَفِيْهِ النَّفْخَةُ , وَفِيْهِ الصَّعْقَةُ فَأَكْثِرُوْا عَلَيّ مِنَ الصَّلاَةِ فِيْهِ , فَاِنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوْضَةٌ عَلَيَّ , قَالُوْا : يَارَسُوْلَ اللهِ ! وَكَيْفَ تُعْرَضُ صَلاَتَنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرَمْتَ يَعْنِيْ بَلَيْتَ ؟ فَقَالَ : إنّ الله عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلَى اْلأَرْضِ أَنْ  تَأْكُلَ أَجْسَادَ اْلأَنْبِيَاءِ .
  “Salah satu hari kalian yang paling utama adalah hari Jum’at ; di hari itu Adam diciptakan dan wafat, Israfil meniup sangkakala dan matinya seluruh makhluk. Maka perbanyaklah bershalawat untukku pada hari Jum’at. Karena shalawat kalian disampaikan kepadaku”.
Wahai Rasulullah, bagaimana shalawat kami sampai kepadamu padahal tubuhmu telah hancur?” tanya para sahabat.
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi.” Jawab Rasulullah.
( HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ibn Hibban dalam kitab shahihnya serta Al-Hakim yang menilai hadits ini shahih ).

Menyangkut keutuhan jasad para Nabi , Al-Hafidh Jalaluddin As-Suyuthi menyusun sebuah risalah khusus menyangkut hal tersebut yang berjudul ‘Inbaa’ul Adzkiyaa’ bi Hayaatil Anbiyaa’.

Dari ibnu Mas’ud Rasulullah SAW bersabda : 

 
حَيَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ تُحَدِّثُوْنَ وَيُحَدَّثُ لَكُمْ , فَإِذًا أَنَا مِتُّ كَانَتْ وَفَاتِيْ خَيْرًا لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَيَّ  أَعْمَالُكُمْ فَاِنْ رَأَيْتُ خَيْرًا حَمِدْتُ للهَ وَإِنْ رَأَيْتُ شَرًّا اَسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ

“ Hidupku lebih baik buat kalian. Kalian berbicara dan saya berbicara kepada kalian. Dan jika saya meninggal dunia maka kewafatanku lebih baik buat kalian. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku melihat amal baik aku memuji Allah dan jika aku melihat amal buruk aku beristighfar buat kalian”.
Kata Al-Haitsami , “Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dan para perawinya sesuai dengan standar perawi hadits shahih. 

Dari Abi Hurairah RA dari Rasulullah SAW, beliau berkata :

مَا مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إِلاَّ رَدَّ الله ُعَلَيَّ رُوْحِيْ حَتَّى أَرُدُّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ

 “ Tidak ada seorangpun yang memberi salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan nyawaku hingga aku membalas salamnya”.
 HR. Ahmad dan Abu Dawud. 

Sebagian ulama menafsirkan kata mengembalikan ruhku dengan mengembalikan kemampuan berbicara beliau. 
Dari ‘Ammar ibn Yaasir, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda :

 
إِنَّ اللهَ وَكَّلَ بِقَبْرِيْ مَلَكًا أَعْطَاهُ الله أَسْمَاءَ الْخَلاَئِقِ , فَلاَ يُصَلِّيْ عَلَيَّ أَحَدٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ إِلاَّ أَبْلَغَنِيْ بِاسْمِهِ وَاسْمُ أَبِيْهِ , هَذَا فُلاَنٌ بْنُ فُلاَنٍ قَدْ صَلَّى عَلَيْكَ .

 “Sesungguhnya Allah SWT mewakilkan seorang malaikat yang diberi Allah nama semua makhluk pada kuburanku. Maka tidak ada seorang pun hingga hari kiamat yang menyampaikan shalawat untukku kecuali malaikat itu menyampaikan kepadaku namanya dan nama ayahnya ; ini adalah si fulan anak si fulan yang telah menyampaikan shalawat untukmu”.
(HR. Al-Bazzaar dan Abu al-Syaikh ibn Hibban yang redaksinya : Rasulullah SAW bersabda :

 
إِنَّالِلّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مَلَكًا أَعْطَاهُ الله أَسْمَاءَ الْخَلاَئِقِ فَهُوَ قَائِمٌ عَلَى قَبْرِيْ إِذَا مِتُّ , فَلَيْسَ أَحَدٌ  يُصَليِّ عَلَيَّ إلاّ قَالَ : يَا مُحَمَّدٌ ! صَلَّى عَلَيْكَ فُلاَنٌ بْنُ فُلاَنٍ , قَالَ : فَيُصَليِّ الرَّبُّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى ذَلِكَ الرَّجُلِ بِكُلِّ وَاحِدَةٍ عَشْرًا
.
  “Sesungguhnya ada malaikat Allah yang telah diberi semua nama makhluk oleh Allah. Ia berdiri di atas kuburanku jika aku meninggal. Maka tidak ada seorang pun yang menyampaikan shalawat kepadaku kecuali si malaikat berkata, “Wahai Muhammad ! fulan anak fulan telah menyampaikan shalawat untukmu”. Rasulullah berkata, “Rabb Tabaraka wa Ta’ala merahmatinya. Untuk satu shalawat dibalas 10 rahmat”.
Dalam Al-Kabiir Al-Thabaraani meriwayatkan hadits seperti ini. 
Meskipun Rasulullah SAW telah wafat namun keutamaan, kedudukan dan derajatnya di sisi Allah tetap abadi. Mereka yang beriman tidak akan ragu akan fakta ini. Karena itu, bertawassul kepada Nabi Muhammad SAW pada dasarnya kembali kepada keyakinan keberadaan hal-hal di muka dan meyakini beliau dicintai dan dimuliakan Allah serta keimanan kepada beliau dan kepada risalahnya. Dan tawassul bukanlah berarti beribadah kepada Nabi SAW. Karena beliau betapapun tinggi derajat dan kedudukannya tetaplah seorang makhluk yang tidak mampu menolak bahaya dan memberi manfaat tanpa izin Allah. 
Allah SWT berfirman : 
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". (Q.S.Al.Kahfi : 110)



Peringatan Haul KH. Abdul Fattah Hasyim Ke 36 & Ny. Hj. Musyarrofah Bisri Ke 4, Pertemuan Alumni Besuk Pada Hari Kamis, 21 Maret 2013